28 October 2012

Fiqih Syiasah



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun tugas ini. Dan tak lupa Shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada Nabi  Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi kepada penulis akan arti dan penerapan bidang-bidang Fiqh Siyasah.
Makalah ini berjudul Fiqh Siyasah yang ditulis penulis sebagai tugas akhir mata kuliah Fiqh Siyasah. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian fiqh siyasah (Siyasah Syar’iyyah) , hubungannya dengan lmu Fiqh , dan manfaat mempelajarinya, serta memahami istilah – istilah yang berhubungan dengan pemerintahan islam.
Serta Tiada Gading Yang Tak Retak, begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Blora, 15 September 2011

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………….........                                     
Daftar Isi ………………………………………………………………….......                                    
Bab I Pendahuluan
1.1 Pendahuluan ……..…………………………………………………........                                      
1.2 Permasalahan……..………………………………………………............                                      
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................         1
Bab II Pembahasan
2.1 Definisi Fiqh Siyasah …......…….………………………………………...     2
2.2 Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah..……….............................        2
2.3 Manfaat Fiqh Siyasah………………….....................................................      2
2.4 Konsep-Konsep yang Berhubungan dengan Pemerintahan Islam …........       3
2.4.1        a. Khilafah….………………………………………................              3
b. Khalifah….…………………….………………..................                               3
2.4.2        a. Imamah….…………………….………………....................              3
b. Imam..….…………………….……………….....................                               3
                2.4.3        a. Imarah….…………………….………………....................4
                                b. Amir….…………………….………………..................... 4
                2.4.4        Ahlul  Halli Wa al- aqdi......................................................... 4
                2.4.5        a. Bai’at.................................................................................  5
                                b. Majlis Syura……………………………………………....5
Kesimpulan ……………..…………………………………………………....   . 7
Daftar Pustaka …………………………………………………………….....     8

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan barat. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar  Muhammad SAW dan oleh empat Khulafa al-Rasyidin[1]

I.2 Permasalahan                                                                                                                                    
1. Apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah ( siyasah syar’iyyah ) ?
2. Apa hubungannya dengan ilmu fiqh ?
3. Apa manfaat mempelajari fiqh siyasah ?
4. Apa yang dimaksud dengan istilah – istilah berikut :
a. Khilafah, Khalifah
b. Imamah, Imam
c. Imarah, Amir
d. Ahlul halli Wa Al – Aqdi
e. Bai’at dan Majlis Syura

1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian fiqh siyasah ( siyasah syar’iyyah )
2. Dapat mengetahui hubungan antara ilmu fiqh dan fiqh siyasah
3. Dapat mengetahui manfaat mempelajari fiqh siyasah dan memahami istilah – istilah    yang berhubungan dengan pemerintahan islam.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Fiqh Siyasah
Fiqh Siyasah terdiri dari  dua kata berbahasa Arab fikih atau fiqh dan siyasah. Agar diperoleh pemahaman yang pas apa yang dimaksud dengan Fiqh Siyasah, maka perlu dijelaskan pengertian masing – masing kata dari segi bahasa dan istilah. Secara etimologis ( bahasa ) fiqh adalah  keterangan-keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud ucapan Si pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud - maksud perkataan dan perbuatan. Secara terminologis          ( istilah ), menurut ulama – ulama  syara, fiqh adalah pengetahuan tentang hukum – hukum yang sesuai dengan syara mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum khusus yang diambil dari dasar – dasarnya dan sunah). Jadi fiqh adalah pengetahuan mengenai hukum agama islam yang bersumber dari al quran dan sunah yang disusun oleh mujtahid dengan jalan penalaran dan ijtihad.
Kata siyasat bersal dari kata sasa. Kata ini dalam kamus Al Munjid  dan Lisan Al – Arab berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memipin, membuat kebijaksanan, pemerintahan dan politik. Secara terminologis dalam Lisan Al Arab siyasat adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa  kepada kemaslahatan.
Dari uraian tentang pengertian istilah fiqh dan siyasat dari segi etimologis dan terminologis dapat disimpulkan bahwa pengertian Fiqh Siyasah atau Fiqh Syar’iyah ialah “ilmu yang mempelajari hal – ihwal seluk – beluk pengatur urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum,  pengaturan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasan yang sejalan dengan dasar – dasar ajaran syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.”

2.2 Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah
Hubungan antara Ilmu fiqh dan Fiqh Siyasah dalam system hukum islam adalah hukum – hukum islam yang digali dari sumber yang sama dan ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemudian hubungan keduanya dari sisi lain, Fiqh Siyasah dipandang sebagai bagian dari fiqh atau dalam kategori fiqh. Bedanya terletak pada pembuatanya. Fiqh ditetapkan oleh mujtahid. Sedangkan Siyasah Syar’iyah ditetapkan oleh pemegang kekuasan.

2.3 Manfaat Fiqh Siyasah
Manfaat siyasah adalah:
1) mengatur peraturan dan perundang-undangan Negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemashalatan umat,
2) pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan, dan
3) mengatur hubungan antara pengusaha dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai tujuan Negara.

2.4 Konsep-Konsep yang Berhubungan dengan Pemerintahan Islam :
2.4.1. a. KHILAFAH
Kata Khilafah berasal dari kata khalifah yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya.Seperti Musa kepada saudaranya Harun :”Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku” (Al-Quran).
 Secara umum seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya, menurut istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah dan sebutan seperti khilafah Abu bakar, Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan. Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslaatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. 

b. KHALIFAH
Secara istilah pemimpin yang mengganti Nabi dalam tanggung jawab umum terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-undang yang mempersamakan seluruh umat islam di depan kebenaran sebagai khalifah Rasul dalam memelihara agama dan mengatur dunia. Jadi, khalifah tidak bisa diartikan wakil melainkan pengganti / penguasa. Khalifah adalah pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rosul.

2.4.2. a. IMAMAH
Secara umum keimanan,kepemimpinan, dan pemerintahan. Menurut istilah seseorang atau kelompok orang yang melaksanakn wewenag dalam hal mengurus kepentingan masyarakat atau istilah lain kepemimpinan menyeliruh yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan urusan dunia sebagai pengganti  fungsi Rasulullah
Pendefinisian khilafah dan imamah lebih panjang oleh kepemimpinan Khulafaur Rosyidin. Hukum islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik Negara. Negara didasarkan pada prinsijp yang mengakui “kedaulatan tuhan”. Dan Nabi Muhammad SAW sebagai “wakil tuhan”. Dan menerapkan musyawarah sertra kedaulatan yang sesungguhnya berda pada Tuhan.

b. IMAM
Sebutan gelar yang paralel dengan khalifah dalam sejarah pemerintahan islam, adalah imam. Kata imam berarti ”pemimpin, atau contoh yang harus diikuti atau mendahului, memimpin. Kedudukan imam sama dengan khalifah, yaitu pengganti rasul sebagai pemelihara agama dan penanggung jawab urusan umat. Secara istilah imam adalah ” seorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agam dan urusan dunia sekaligus.
               
2.4.3. a. IMARA
Imarah berasal dari kata “amr” yang artinya perintah persoalan, urusan atau dapat pula dipahami sebagai kekuasaan. Sementara itu imarat sebutan untuk jabatan amir dalam suatu Negara kecil yang berdaulat untuk melaksanakan pemerintahan oleh seorang amir. Istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai literatur ulama fiqh daripada  istilah imarah.

b. AMIR
 Menurut istilah syara, amir adalah pejabat pemerintahan yang diangkat untuk mengatur dan memelihara salah satu urusan kaum muslimin. Ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah umat islam’ istilah amir di gunakan untuk nama beberapa jabatan yang mengurusi suatu urusan.
Umar bin khattab pernah berkata: “ Tidak ada arti islam tanpa jamah, tidak ada arti jamaah tanpa amir (pemimpin).
Dalam arti lain amir adalah orang yang memerintah orang yang menangani persoalan, orang yang mengurus atau penguasa.
Konsep amir justru dapat di pahami lebih umum dalam seluruh pola kepemimpinan. Termasuk penguasa politik pemerintahan, pemimmpin organisasi dan perkumpulan dan sebagainya. Dalam proses pemilihannya pun, lebih banyak melibatkan unsur sosial kemasyarakatan, ketimbang doktrin. Dengan kata lain, legalisasi seorang amir ditentukan oleh kepercayaan orang banyak terhadap seseorang.

2.4.1. Ahlul Halli Wal Aqdi
Dapat diartikan bahwa orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat atau sekelompok orang yang memilih imam atau kepala Negara atau orang-orang yang mempunyai wewenang.Biasanya istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang berhak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah Ahlul Halli Wal aqdi didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yanag mewakili dua golongan yaitu Anshor dan Muhajirin.
Bertolak dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Ahlul Halli wal Aqdi merupakan suatu lembaga pilihan. Kecenderungan umat islam generasi pertama dalam sejarah secara tidak langsung atau melalui perwakilan.
Dengan demikian Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari berbagai kelompok sasial yang memiliki profesi dan keahlian yang berbeda namun hal ini bukan hal prinsip, melainkan persoalan tekhnis dan temporer yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masyarakat.

A2.4.2. a BAI’AT  
Istilah bai’at berasal dari kata ba’a yamg berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli dan untuk berjanji setia dan taat
Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang di milikinya.
Dengan demikian beberapa konsep yang berhubungan dengan pemerintahan islam diatas, dapatlah ditarik beberapa pengertian, Pertama konsep khilafah lebih bersifat umum, artinya sebagai sebuah konsep, imamah dan imarah tercakup di dalamnya. Kedua masing-masing konsep dapat dipahami dengan pendekatan karakteristik dan berbeda-beda, khilafah lebih bersifat teologis dan sosiologis sekaligus. Imamah  murni bersifat teologis, sementara itu imarah murni bersifat sosiologis .

b. MAJLIS SYURO’
Permusyawaratan, hal yang bermusyawarah atau konsultasi. Majlis Syura berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Istilah syura berasal dari kata kerja syaawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syaawara adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Pengertian seperti ini terdapat pada tiga tempat di dalam Alquran. Pertama dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya: ‘’Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.’ Menyapih anak sebelum mencapai usia dua tahun boleh apabila didasarkan pada kerelaan dan permusyawaratan antara suami - istri.
Kedua dalam surat Asy-Sura ayat 38: ‘Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan TuhanNya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.’’ Ayat ini mengandung pujian atas orang-orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat dengan baik dan benar, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rizki yang mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah.
Ketiga, dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 yang artinya, ‘’Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kami bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah (syawir) dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal kepadaNya. Ayat ini merupakan perintah untuk melaksanakan musyawarah dengan para sahabatnya dan perintah yang mensyariatkan musyawarah. Bermusyawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan, sesungguhnya Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan kewajiban musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi SAW, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.

KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa dalam berpolitik ada tata cara dan bernuansa Islam. Serta juga bukan hanya masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Melainkan segala masalah yang menyangkut aspek yang berkenan dengan kemanusian dan kemaslahatan umat.
Kajian Politik Islam sangatlah sempurna dan merupakan hal yang sangat di harapkan untuk di praktekkan. Diantara kajian Fiqh Siyasah (Politik Islam) ada beberapa bagian yang mengatur masalah dalam negeri, luar negeri, keuangan negara, serta keadaan perang atau darurat dalam negara.

DAFTAR PUSTAKA
Mansur, MSI. Drs. H. 2008. Diktat Ilmu Ushul Fiqih/Ushul Fiqih. Cipasung:
Djazuli,  MA. Prof. H. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syari’ah. Bandung: Prenada Media.
Pulungan, MA. Dr. J. Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.







27 October 2012

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN




1.   Pada Masa Kerajaan Banten
Mulanya kerajaan Banten takluk oleh Faletehan(yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati), kemudian Kerajaan pakuan-pajajaran, Sunda-kelapa dan tindakan terakhir yaitu menduduki daerah cirebon. Yang kemudian, semua itu menjadi daerah taklukan Kesultanan Demak. Dalam tahun 1552, beliau pindah ke Cirebon dan Pemerintahan Banten diserahkan kepada anaknya dari pernikahannya dengan Nhay kawunganten. Anak itu bernama Pangeran Sebakingking. Disebut Sultan Hasanudin. Beliau berkuasa di kesultanan Banten selama 18 tahun (1552-1570).
Di banten inilah Islam memang sudah  masuk sejak dulu. Meskipun hampir bersamaan memeluk agama Islam dengan Cirebon, tetapi Cirebon masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno. Ini nampak dari perbedaan dalam tat peradilan di kedua kesultanan itu. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. jika sebelum tahun 1600 pernah ada bentukan-bentukan pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Namun saat Sultan Hasanudin memegang kekuasaan, sudah tidak ada lagi bekas dari hukum hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bawa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.

2.   Pada Masa Kerajaan Cirebon
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon dan banten, serta menyebarislam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaanIslam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atauFadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568.[1]
Menurut pendapat Dr. Hazeu “undang-undang Jawa” yang dimaksud dalam perjanjian de hartogh itu, ialah sekumpulan peraturan yang diterapkan dengan pengetahuan Kumpeni kira-kira pada tahun 1717 atau 1715, atau barangkali juga sudah sejak tahun 1689 atau 1699, tapi yang tidak merupakan suatu pembukuan yang lengkap. Adapun kitab hukum yang agak lengkap, yang memuat juga hukum materiil dan yang selanjutnya harus digunakan sebagai satu-satunya sumber hukum tertulis guna pengadilan di Cirebon, ialah yang tetapkan lebih akhir, yaitu baru di dalam tahun 1758. Kitab hukum inilah yag dikenal dengan sebutan Papakem Cirebon.

IBADAH SHOLAT


BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan umat islam masyarakat meyakini dan mengetahui bahwa shalat merupakan perintah yang harus di lakukan atau di anjurkan oleh ummat islam itu sendiri. Didalam pelaksanaan sjolat ada beberapa hal yang harus di lakukan seseorang yang hendak melaksanakan sholat seperti mempunyai wudu’ suci tempatnya atau pekayannya karna kedua hal tersebuit merupakan salah satu dari syarat shalat sehingga ketika seseorang melakukan shalat dan keduanya ditinggalkan maka hal tersebut dapat membatalkan shalat seseorang karena ketika salah syarat shahnya shalat di tinggalkan maka secara langsung shalatnya itu tidak di terima oleh Tuhan, baik itu shalat yang wajib ataupun shalat sunnah, yang keduanya itu pernah di lakukan/dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga sampai sekarang hal itu dilakukan secara berkesinambungan.
Shalat merupakan salah satu bentuk interaksi langsung antara manusia dengan tuhannya, maka dari itu ketika kita melakukan atau melaksanakan shalat kita di anjurkan untuk khususk dalam shalat yang dia lakukan supaya shalat tersebut bisa di terima oleh tuhan Yang Maha Esa, selain dari itu shalat memiliki berbagai macam keistimewaan.
Didalam pelaksanaan shalat Allah tidak memberatkan ummatnya, artinya shalat dapat di tinggalkan ketika seseorang ersebut mempunyai halangan seperti haid bagi wanita dan masih banyak contoh yang lain, dan Allah juga memberikan keringanan terhadap pelaksanaan shalat seperti memperpendek sholat.
B. Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pengertian shalat ?
2.        Sunnah apa saja yang harus dilakukan sebelaum melakukan shalat?
3.        Ada berapakah syarat wajib dan syarat apa sajakah yang harus di lakukan untuk shahnya shalat?
4.        Shalat apa sajakah yang wajib di kerjakan ?
5.        Bagaimana struktur shalat Nabi Muhammad SAW?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk dapat memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah yang dibina oleh Ibu Lathifani Wardah Shomita, S.Th.I. sehingga dengan penulisan makalah ini kami lebih mengetahui sejauh mana kemampuan kami dalam menyerap Mata Kuliah Fiqih Ibadah yg sedang kami tempuh selama ini. Dengan harapan apabila ada kekurangan dalampenulisan Makalah ini atau kekurang fahaman kami di dalam belajar Fiqih Ibadah, ada masukan dari teman-teman Mahasiswa / mahasiswi terlebih dari Dosen Pembimbing kami. Agar kedepanya kami lebih bisa belajar serta mengamalkan Ajaran-ajaran Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad S.A,W. Dengan baik dan benar

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Shalat
Asal makna shalat menurut bahasa arab ialah ”Doa” tetapi yang di maksud di sini ialah shalat yang tersusun dari beberapa pekerjaan dan perbuatan itu yang dimulai dengan takbir dan di sudahi dengan salam yang hal itu harus memenuhi beberapa syarat yang ditentukan. Allah berfirman dalam surat At-Ankabut ayat 4.5.
واقم الصلاة ان الصلاة تنهى عن الفحساء والمنكر (العنكبوت)
Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.[1]
Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan bahwa pengertian shalat adalah doa memohon kebajikan dan pujian. Sehingga jika ada kata-kata yang berbunyi ”shalat Allah SWT kepada Nabinya” artinya pujian Allah SWT kepada Nabinya, pengertian ini di fahami oleh orang Arab sebelum islam yang hal itu berada di dalam Al-Qur’an (Q.S. 9:103).
B. Yang Sunnat Dilakukan Sebelum Shalat
Adapun yang sunah dilakukan ketika seseorang tersebut hendak melakukan atau melaksanakan shalat ialah ketika waktu sampai pada waktunya yang biasanya di tandai dengan kumandang adzan, maka seorang hamba wajib melaksanakan shlat tersebut.
Adzan memiliki arti ”memberitahukan” yang dimaksud disini ialah ”memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dengan lafaz yang ditentukan oleh syarat”. Dalam lafaz adzan itu terdapat pengertian yang mengandung beberapa maksud penting, yaitu sebagai akidah, seperti adanya Allah yang Maha Besar bersifat Esa, tidak ada sekutu bagi0Nya; serta menerangkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan allah yang cerdik dan bijaksana untuk menerima wahyu dari Allah. Sesudah kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad utusan-Nya, kita diajak menanti perintahnya, yakni mengerjakan shalat, kemudian diajaknya pula pada kemenangan dunia dan akhirat. Akhirnya disudahi dengan kalimat tauhid.[2]
Adzan dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dan menyerukan untuk melakukan shalat berjamaah. Selain itu untuk mensy iar agama islam di muka umum. Allah telah berfirman dalam surat Al-Jumuah ayat 9 sebagai berikut :
يايها الذين امنوا اذانودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعواالى ذكرالله وذروا البيع ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون (الجمعة)
”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tingglkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah).
C. Syarat Wajib Shalat dan Syarat Shah Shalat
1.        Syarat Wajib Shalat
Kewajiban shalat itu dibebankan atas orang yang memenuhi syarat-syarat yaitu, islam, balig, berakal, dan suci.
Orang kafir tetap berdosa karena tidak mengerjakan shalat, sebagaimana ditunjukkan
oleh ayat :
”Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?” Mereka menjawab: ”Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. (Al-Muddatstsir/74: 42-43).
Akan tetapi, mereka tidak dituntut melakukannya sebab shalat itu tidak sah dilakukan oleh kafir. Jika seorang kafir masuk islam, kewajiban shalat sebelumnya menjadi gugur dan ias tidak dituntut mengqada’ shalat msa kafirnya.
Orang murtad, jika masuk islam kembali, wajib mengqada’ shalat yang tinggal selama murtadnya, sebab kewajiban shalat itu tidak gugur oleh kemurtadannya.
Anak-anak dan orang yang hilang akal karena gila atau sakit, tidak wajib melakukan shalat berdasarkan sabda Rasulullah saw :
رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
Diangkat qalam dari tiga orang; orang tidur sampai terjaga, anak-anak sampai dewasa, dan ornga gila sampai ia sadar kembali. (HR. Abu Daud dan Tirmidiy).
Orang yang sedang haid atau nifas tidak wajib shlat, bahkan tidak sah melakukannya sesuai dengan hadis ”A’isyah;
كنا نحيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ولانؤمر بقضاءالصلاة
Kami haid, di sisi Rasulullah saw., kemudian suci kembali, lalu kami disuruhnya mengqada’ puasa dan tidak disuruh mengqada’ shalat.
Jika orang yang memenuhi persyaratan ini tidak melakukan shalat, karena tidak mengakui kewajibannya, maka dengan demikian ia telah menjadi kafir dan wajib dihukum bunuh sebagai orang murtad. Sedangkan orang yang tetap mengakuinya sebagai kewajiban, tetapi tidak melakukan karena malas atau alasan lainnya, para ulama berbeda pendapat tentang hukumannya.
Ahmad ibn Hanbal, Ishaq, dan Ibn Al-Mubarak berpendapat bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan wajib dibunuh sebagai orang kafir. Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i, berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap sebagai orang muslim, tetapi ia berdosa besar, dan wjib di hukum bunuh. Berbeda denganpendapat yang pertama, hukuman ini dipandang sebagai had atas kesalahannya meningglkan shalat. Menurut Ahl Al-Zair, orang yang meninggalkan shalat dikenakan hukuman ta’zir,yakni dipenjarakan sampai ia melakukan shalat.
2.        Syarat Shah Shalat
Shalat dianggap sah menurut syara’ apabila dilakukan dengan memenuhi persyaratan tertentu yaitu :
a. Suci badan dari hadats dan najis
Dalam hal ini sebelum melakukan shalat seseorang harus bersuci dari hadats besar maupun kecil, dengan mandi, wudhu’, atau tayammum sesuai dengan keadaannya masing-masing. Keharusan bersuci ini didasarkan atas beberapa dalil ayat Al-Qur’an yang tertera dalam syrat Al-Maidah ayat 5:6 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, pabila kamu hendak mengerjakan shalat, mka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,.........(Al-Maidah/5: 6).
Jika seseorang melakukan shalat tanpa bersuci dari hadats, baik dengan sengaja maupun terlupa, maka shalatnya menjadi batal sebab syarat-syarat tidak terpenuhi lagi.
Selain suci dari hadats juga disyaratkan suci badan, pekaian dan tempat shalat dari najis berdasarkan beberapa dalil sebagai berikut : Ayat Al-Qur’an :
وثيابك فطهر
Dan pakaianmu bersihkanlah (Al-Muddatstsir/ 74:4).
Hadits :
اذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة واذا ادبرت فاغتلي وصلى
Apabila datang haid maka tinggalkanlah shalat, dan apabila hid itu telah pergi mka basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.
Ayat dan hadits ini menunjukkan keharusan menyucikan badan dari najis, sedangkan keharusan kesucian pakaian diambil dari perintah Rasul saw. Untuk mencuci pakaian yang terkena darah haid.
b. Menutup Aurat Dengan Pakaian yang Bersih
Menurut lughat, aurat berarti kekurangan, cacat, dan sesuatu yang memalukan. Menutup aurat itu wajib dalam segala hal, di dalam dan di luar shalat.
Kewajiban menutup aurat di dalam shalat termasuk hal yang disepakati (ijma’) ulama’, dan juga didasarkan pada hadits Rasul saw .: yang artinya :
Allah tidak menerima shalat perempuan yng telah dewasa kecuali dengan memakai khimar, kerudung. (HR. Tirmiziy).
Bahan penutup aurat itu mestilah cukup tebal dan rapat sehingga dapat menutupi warna kulit dari pandangan.
Orang yang benar-benar tidak mendapatkan pakaian untuk menutup auratnya dibolehkan shalat dalam keadaan telanjang; shalatnya sah dan tidak mesti diulang lagi.
Adapun batas-batas aurat yang wajib ditutupi itu, bagi laki-laki ialah pusat dengan lutut, sedangkan bagi perempuan iaolah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Menurut Ahmad ibn Hanbal, aurat laki-laki hanyalah qubul dan duburnya, tetapi seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk wajah dan tangannya. Menurut Abu Hanifah, telapak kaki perempuan tidak termasuk aurat.
c. Mengetahui Waktu Shalat
Persyaratan ini harus terpenuhi dengan benar-benar mengetahui masuknya waktu berdasarkan tanda-tanda seperti yang telah dijelaskan terdahulu, atau melalui ijtihad. Ijtihad yang dimaksudnkan dapat berupa perkiraan waktu berdasarkan kegiatan tertentu, seperti membaca wirid atau pelajaran, menulis, menjahit, atau pekerjan lainnya. Dapat juga dengan memperhatikan tanda-tanda lain seperti kokok ayam, suara azan, posisi bintang-bintang, perhitungan waktu shalat dengan menggunakan rumus-rumus ilmu falak dan sebagainya. Orang yang tidak sanggup berijtihad karena tidak mengetahui tanda-tanda terkait dapat bertaqlid mengikutu ijtihad orang lain.[3]
d. Menghadap Kiblat
Para ulama telah ijma’ mengatakan bahwa tidak sah shalat tanpa menghadap qiblat. Orang yang melakukan shalat harus menghdap dadanya ke qiblat. Yang hal ini tertera dalam nas Al-Qur’an yang berbunyi :
Palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu kearah qiblat. (Al-Baqarah/2: 144).
D. Shalat yang Wajib di Lakukan Oleh Mukalaf
Shalat yang wajib bagi tiap-tiap dewasa (mukallaf) yang berakal sehat ialah lima kali sehari semalam, yakni shalat dhuhur, ashar, mghrib, isya’ dan subuh yang hal ini berkumpul semuanya sebagai kesatuan hanya pada ajaran dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Dan kefardhoan shalat yang lima wktu itu di turunkan malam isro’ malam 27 buln rajab tahun 3 bulan terhitung semenjak Muhammad diangkat menjadi Rasul.[4]
E. Struktural Shalat Nabi
Berangkat dari sebuah hadits yang berbunyi :
صلواكمارايتموانى اصلى
Yang mempunyai arti “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat“.
Hadits tersebut mencerminkan, beliau sangat khawatir, kepada umatnya, tidak lagi mampu melakukan shalat sebagaimana pernah dikerjakannya, tentu beliau dalam melakukan shalat tidak saja sekedar jungkar-jungkir tanpa mempunyai makna yang dalam bagi kahidupannya, sehingga secara teori dengan gamblang diterangkan bahwa shalat adalah ibadah yang utama dan sebagai penentu seluruh amalan lainnya.
Agar tingkat kekhawatiran Rasulullah saw tidak menjadi kenyataan, dibawah ini diterangkan bagaimana shalat pernah dilakukan beliau secaa utuh dan bernilai bagi kehidupan.
Pertama, shjalat berbentuk struktural, yaitu shalat wajib yang dilakukan lima kali sehari semalam, yaitu subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya’ yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Adapun di luar itu bersifat sunnah, baik yang muakkat maupun yang sunnah biasa.pembahasan disini dikhususkan pada masalah shalat wajib, dan dampak siklus rutinitas sehari-hari, sehingga terbentuk kehidupan manusia proaktif dan berkembang secara dinamis menuju kehidupan yag lebih baik.
Shalat struktural merupakan bentuk shalat vertikal, yaitu hablum minallah (hubungan manusia dengan Tuhan Allah swt). Sedangkan shalat struktural ada tiga pokok utama sebagai satu paket yang harus dilakukan secara utuh, yaitu : Wudhu, shalat dan do’a.[5]
a.        Wudhu
Wudhu menurut bahasa indonesia, mensucikan diri sebelum shlat dengan membasuh muka, tangan, sebagian kepala dan kaki. Sedangkan menurut bahasa Arab, berasal dari kata wadhua-wudhuuan, yang berarti bersih. Jadi wudhu adalah bersuci atau membersihkan anggota badan sesuai dengan syari’ah islam yang telah ditentukan.
Pelaksanaan wudhu dilakukan atas dasar perintah Allah swt:’ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki dan jika kamu junub, maka mandilah dan jika kamu sakit atai dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus/WC) atau menyentuh perempuan, lalu jika kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak akan menyulitkan kamu tetapi dia hendak memberishkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur“.
b.        Shalat
Shalat struktural yang pernah dilakukan Nabi sawdengan urutan sebagai berikut :
1. Takbir
Shalat langsung diawali dengan takbir, sebab dasaat mau mengambil ir wudhu, otomatis pada waktu itu niat shalat telah berlaku, sebab wudhu yang dilakukan memang diperuntukkan niat untuk shalat. Setelah wudhu dengan sempurna, langsung berdiri menghadap ke kiblat dan takbir.
2. Iftitah
Setelah takbir dengan sempurna dalam posisi sendekap, langsung membaca do’ iftitah. Do’a ini banyak jenisnya, sebab Nabi saw pernah melakukan berbagai macam. Pelaku shalat dapat memilih slah satu diantara yang ada, sesuai dengan kelonggaran waktu yang dimiliki, apabila waktunya panjang, dapat memilih yang panjang dan sebaliknya jika waktunya sempit, boleh memilih yang pendek.
3. Membaca Al-Fatihah dan Salah Satu Surat Al-Qur’an
Setelah selesai membaca do’a iftitah, langsung membaca al-fatihah dan posisi gerakannya tetap seperti disaat iftitah. Membaca al-fatihah ini mutlak, sebagaimana sabda Nabi saw :
عن عبادة بن الصامت قال, قال رسول الله صلعم لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القران
Dari ‘Ubadah bin Shamid, i berkata : Telah bersabda Rasulullah saw.: Tidak ada shlat (tidak syah) bagi orang yang tidak membaca ummul Qur’an (Al-Fatihah) (HR. Bukhari Muslim).
Setelah selesai membaca Al-Fatihah, langsung membaca salah satu surat atau ayat Al-Qur’an dan posisi gerakannya sama (sendekap) sebagaimana disaat membaca Al-Fatihah. Usahakan memilih surat atau ayat yang difahami maknanya agar dapat menjiwai disaat membaca, adapun panjang pendek surat (ayat) disesuaikan dengan kelonggaran waktu.
4. Ruku’
Setelah selesai membaca salah satu surat (ayat), lalu takbir “Allahu Akbar”, dan langsung badan membungkuk hingga kedua tangan diletakkan pada kedua lutut kaki. Adapun bacan yang pernah dilakukan Rasulullah saw juga banyak jenisnya, dibolehkan memilih salah satu, sesuai kelonggaran waktu. Do’a tersebut sebagai berikut :
a. Do’a ruku’ yang pernah dibaca Rasulullah saw :
سبحان ربي العظيم
Maha suci Tuhanku, tuhan yang Maha Besar (HR. Muslim dan Ashabus Sunan).
Rasulullah saw, kadang-kadang berlama-lama ruku’ membaca do’a sepuluh kali tsbih ini, kadang lebih dari itu dan sekurang-kurangnya 3 kali, sebab kalau ada keperluan beliau menyegerakan shalatnya.
5. I’tidal
Setelah ruku’ dilakukan dengan sempurna, lalu bangun sambil mengangkat tangan sebagaimana cara bertakbir, kemudian tangan lurus dengan badan dan bacaannya sebagai berikut :
سمع الله لمن حمده
Mudah-mudahan Allah mendengar pujian orang-orang yang memuji-mujinya (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abi Daud dari Ali ra).
6. Sujud
Setelah membaca do’a I’tidal langsung bersujud dengan cara meletakkan kedua lututnya terlebih dulu ke depan, kemudian baru meletakkan kedua tangannya di samping kiri-kanan kepala dan jari-jari tangan rapat sama dengan di saat takbir.
7. Duduk di antara dua sujud
Setelah sujud selesai dengan sempurna, lalu duduk iftirasy dengan cara melipatkan kaki kiri dan meletakkan punggung (pantat) atasnya serta menegakan kaki kanan serta menghadapkan ujung-ujung anak jari ke kiblat.
8. Duduk takhiyat atau tasyahud
Setelah selesai semua prosesi rakaat pertama dan kedua, langsung duduk takhiyat atau tasyahud dengan cara kaki kiti diletakkan di bawah kaki kanan, sebagaimana posisi duduk diantara dua sujud dan ia genggam tangannya dengan isyarat telunjuknya.
9. Salam (takhiat akhir)
Selesai tasyahud akhir langsung salam, dengan cara menoleh kekanan dan kekiri sambil membaca :
السلام عليكم ورحمة الله
c.        Do’a
Adapun do’a yang sering Rasulullah baca ketika selesai shalat ialah sebagai berikut :
لا اله الاالله واحده لاشريك له, له الملك وله الحمد وهو على كم شئ قدير, اللهم لا مانع أعطية ولا معطي لما منعت ولاينفع ذالجد اللهم انى اعوذبك من البخل واعوذبك من الجبن واعوذ بك من ان ارد الى ارذل العمر واعوذبك من فتنة الدنيا واعوذبك من عذاب القبر اللهم انت لسلام ومنك السلام بتاركت ربنا ياذالجلال والاكرام
Setelah slesai seluruh prosesi shalat yang mulai dari takbir hingga salam, kemudian membaca do’a-do’a sesuai dengan contoh Rasulullah saw atau dapat juga ditambah asalkan riwatnya sah. Do’a sesuadah shalat yang pernah dilakukan Rasulullah saw,:
„Tidak ada Tuhan kecuali Allah sendiri, tiada sekutu baginya, kepunyaan-Nyalah sekalian kerajaan dan bagi-Nyalah sekalian pujian dan ia di atas sesuatu amat berkuasa. Wahai Tuhan yang tidak ada yang bisa menghlangi apa yang engkau beri dan tidak ada yang bisa menarik manfaat dari padamu untuk si kaya“ (HR. Muttafaqun’Alaih). “Wahai Tuhanku, aku berlindung kepadamu dari pada kebakhilan dan aku berlindung kepadamu dari pada ketakuta, dan aku berlindung dari padamu daripada umur yang pikun dan aku berlindung kepadamu daripada percobaan hidup dan aku berlindung kepadamu dari azab kubur“ (HR. Bukhari). “Wahai Tuhan, tolonglah aku untuk dapat mengingatmu dan berterima kasih kepadamu dan beribadah yang baik kepadamu“ (HR. Abu Daud, Ahmad dan An-Nasa’i).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat kami simpulkan beberapa hal sebagai berikut :
v Shalat ialah ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuataan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
v Azan merupakan sebuah pemberitauan terhadap orang muslim untuk melaksanakan perintah Allah, yakni shalat yang hal itu merupakan sebuah kesunnahan sebelum melaksanakan shalat.
v Shalt merupakan suatu kewajiban bagi ummat islam, akan tetapi ketika seseorang hendak melksanakan shalat ada beberapa hal yang harus di penuhi dalam pelaksanaan shalat tersebu yakni, islm, baligh, dan suci ketika empat syarat tersebut tidak tepenuhi kma gugurlah shalat seseorang itu.
v Shalat merupakan salah satu interaksi antara Tuhan dengan hambanya, kan tetapi shalat di anggap sah ketika terpenuhi syarat shah shalat, yang di antaranya ialah suci bdan, dari hadats dan najis.
v Shlat yang wajib di wajibkan oleh tiap mukallaf ialah dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh.
v Shalat struktural merupakan bentuk shlat vertikal, yaitu hablum minallah sedangkan shalat struktural ada tiga pokok utama sebagai satu paket yang harus dilakukan secara utuh yaitu, wudhu’, shalat dan do’a.






DAFTAR PUSTAKA

Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994).
Nasution Lahmuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999).
As’ad Aliy, Fathul Mu’in (Kudus : Menara Kudus, 1979 M).
Abdul Karim Nafsin, Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan Realita (Mojokerto : C Al-Himah, 2005).

[1] Rasyid Sulaiman. Fiqih Islam (Bandung : Sinar Baru Al-Gensindo.1994), hlm., 53
[2] Ibid; hlm., 53.
[3] Nasution Lahmuddinn, Fiqih Ibadah (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2999), hlm.,
     63.
[4] As’ad Aliy, Fathul Mu’in (Kadus : Menara Kudus, 1979 M), hlm.,9.
[5] Bdul Karim Nafsin ; Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan Realita
     (Mojokerto :CV Al-Himah, 2005), hlm., 26.