27 October 2012

ESENSI DAN EKSISTENSI HUKUM ISLAM


Eksistensi Hukum Islam

ecara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal ini berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan
Dengan demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma statis yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun juga berkemampuan untuk mendinamisasikan pemikiran serta merekayasa perilaku masyarakat dalam menggapai cita-cita.
Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan untuk mendasari dan mengarahkan berbagai perubahan sosial masyarakat.
Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[2] itu mengandung dua dimensi:
1.  Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari’at[3] yang berakar pada nash   qath’i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia.
2.    Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi yang produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.[4]
Dalam pengertiannya yang kedua inilah, yang kemudian memberikan kemungkinan epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda,[5] sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi.
Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah sejak lama memperoleh tempat yang layak dalam kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi Negara.[6]
Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit demi sedikit hukum Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya.[7]
Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam tidak pernah mati dan bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam dalam sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta sampai masa kini.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu[8] kemudian dibagi menjadi dua:
1.        Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya
sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya.
  1. Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana[9] sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan), yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.

Meskipun keduanya (hukum normative dan yuridis formal) masih mendapatkan perbedaan dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu sebenarnya dapat terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45 pasal 29 ayat 2.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-hukum Islam yang hidup[10] dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.
Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yang sebagian daripadanya telah terpaparkan pada uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[11]
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[12] dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan.
1.   Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.   Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenalteori reception
in complexuyang
dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat
Islam[13] berlaku sejak adanya kerajaan
Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri
semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.[14]
Keberadaan hukum Islam[15] di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda setelah dicabutnyaCompendium Freijer secara berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqhi.[16]

3.              Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat.
Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C. Van Den Breg itu[17]kemudian digantikan oleh teori Receptio yang dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[18] sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi”.[19]
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.[20]
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yang meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan system dan kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.
2.   Dua periode kedua, yakni setelah kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua fase sebagai berikut:
a.       Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut denganpersuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah diyakini.
b.      Hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal denganoutheriotative source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung memiliki kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan sebagai sumber persuasuf UUD-45.[21] Namun setelah Dekrit yang mengakui bahwa Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali hukum secara mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif dan harus dilakukan secara terus menerus, simultan dan sistematis.
Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah pemberlakuan teoriReceptio Exit gagasan Hazairin[22] yang berarti menolak teori Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[23]

Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yang memberlakukan hukum kebalikan dari Receptio, yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perkembangan hukum Islam di Indonesia telah melampaui tiga tahapan:
1. Masa penerimaan,
2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda,
3. Masa pencerahan dengan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu alternative
utama yang dipercaya oleh pemerintah RI dalam upaya menciptakan hukum nasional.



[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. ix
[2] Hukum Islam merupakan koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[3] Syariat mempunyai dua pengertian: umum dan khusus. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan dan Islam termasuk pengetahuan tentang ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia…, h. vii
[4] Fiqhi adalah hukum syara’ yang bersifat praktis diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[5] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[6] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia…
[7] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[8] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.
[9] Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang menyebabkan pelakunya dapat diancam dengan hukuman tertentu dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74

[10] Yakni, hukum yang diterima dan digunakan secara nyata dalam kehidupan umat, atau yang tersosialisasikan dan diterima masyarakat secara persuasive, karena dianggap telah sesuai dengan kesadaran hukum dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177

[11] Tentang teori-teori tersebut, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam di Indonesia,  dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia(Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.

[12] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam bukuProspek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200

[13] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[14] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12

[15] Ketika itu, hukum Islam diakui sebagai otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama dengan hukum adat yang tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab-kitab fiqhi yang masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam dalam berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi’i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29

[16] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44

[17] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13

[18] Mura Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[19] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132

[20] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10

[21] Bandingkan paragraph pada UUD-45 yang kemudian menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI dengan rumusan dalam Piagam Jakarta: “…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya”.
[22] Pada tahun 50-an menjadi penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6

[23] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220

No comments:

Post a Comment