27 October 2012

Hukum Bersetubuh Bersama-Sama



Seperti kita fahami bersama bahwa poligami dalam Islam bukanlah hal terlarang. Meskipun tidak pula dianjurkan. Dalam hal ini, keadilan menjadi syarat yang harus diutamakan, seperti yang termaktub dalam an-Nisa ayat 3
 فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi masing-masing dua, tiga, atau empat—kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja… (QS an-Nisa’ [4]: 3).
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan keadilan dalam poligami, fiqih telah memformulasikan konsep al-Qismu. Yaitu sebuah konsep praktis yang mengharuskan seorang suami membagi secara adil malam-malam yang dilewatinya dengan para istri-istri tercintanya. Hal ini guna menghindari kekecewaan atau kecemburuan diantara para istri.
Lalu bagaimana jika seorang suami mengumpulkan dua isterinya atau lebih dalam satu ranjang, khususnya dalam hal hubungan intim? Apakah hal itu diperbolehkan jika memang dirasa tidak melukai konsep keadilan?
Dalam konsep al-qismu diterangkan bahwa haram hukumnya bagi seorang suami tinggal di rumah seorang isterinya, lalu mengajak isteri yang lain untuk tinggal di rumah tersebut karena keberatan hati mereka untuk mendatanginya dan melebihkan seorang atau dua orang isterinya dibanding yang lain.
Begitu pula haram hukumnya seorang suami menempatkan dua isterinya dalam satu rumah. Karena dirasa dapat memicu pertengkaran keduanya yang selanjutnya dapat merusak hubungan rumah tangga. Kecuali keduanya rela.
“Adalah makruh hukumnya berhubungan intim dengan sepengetahuan isteri yang lain karena jauh dari sifat muru‘ah. Hubungan intim seorang suami pada seorang madunya dengan sepengetahuan isterinya yang lain di satu atap dihukumkan makruh, sepanjang hatinya tidak terluka dan tidak terlihat aurat suami dan madunya. Kalau keduanya terjadi (melukai hati dan terlihat auratnya), maka haramlah hubungan intim  yang dilakukan suami dengan salah seorang isterinya,” [Syekh Qaliyubi dan Syekh Umairah, Hasyiyah ala Syarh al-Mahalli ala Minhajit Thalibin  lil Imamin Nawawi fi Fiqhi mazhabil Imamis Syafi‘i, (Kairo: Maktabah wa Mathba‘ah al-Masyhad al-Husaini, tanpa tahun) Juz 3, hal. 300-301].
Redaktur: Ulil A Hadrawiy
Penulis: Alhafiz Kurniawan

No comments:

Post a Comment