27 October 2012

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN




1.   Pada Masa Kerajaan Banten
Mulanya kerajaan Banten takluk oleh Faletehan(yang setelah wafat dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati), kemudian Kerajaan pakuan-pajajaran, Sunda-kelapa dan tindakan terakhir yaitu menduduki daerah cirebon. Yang kemudian, semua itu menjadi daerah taklukan Kesultanan Demak. Dalam tahun 1552, beliau pindah ke Cirebon dan Pemerintahan Banten diserahkan kepada anaknya dari pernikahannya dengan Nhay kawunganten. Anak itu bernama Pangeran Sebakingking. Disebut Sultan Hasanudin. Beliau berkuasa di kesultanan Banten selama 18 tahun (1552-1570).
Di banten inilah Islam memang sudah  masuk sejak dulu. Meskipun hampir bersamaan memeluk agama Islam dengan Cirebon, tetapi Cirebon masih terikat dengan norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-kuno. Ini nampak dari perbedaan dalam tat peradilan di kedua kesultanan itu. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. jika sebelum tahun 1600 pernah ada bentukan-bentukan pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Namun saat Sultan Hasanudin memegang kekuasaan, sudah tidak ada lagi bekas dari hukum hindu. Di abad ke-17 di Banten hanya ada satu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim seorang diri. Namun ada satu hukum / peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh hukum Hindu, bawa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi, masih memerlukan pengesahan dari Raja.

2.   Pada Masa Kerajaan Cirebon
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon dan banten, serta menyebarislam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaanIslam cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atauFadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568.[1]
Menurut pendapat Dr. Hazeu “undang-undang Jawa” yang dimaksud dalam perjanjian de hartogh itu, ialah sekumpulan peraturan yang diterapkan dengan pengetahuan Kumpeni kira-kira pada tahun 1717 atau 1715, atau barangkali juga sudah sejak tahun 1689 atau 1699, tapi yang tidak merupakan suatu pembukuan yang lengkap. Adapun kitab hukum yang agak lengkap, yang memuat juga hukum materiil dan yang selanjutnya harus digunakan sebagai satu-satunya sumber hukum tertulis guna pengadilan di Cirebon, ialah yang tetapkan lebih akhir, yaitu baru di dalam tahun 1758. Kitab hukum inilah yag dikenal dengan sebutan Papakem Cirebon.

IBADAH SHOLAT


BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan umat islam masyarakat meyakini dan mengetahui bahwa shalat merupakan perintah yang harus di lakukan atau di anjurkan oleh ummat islam itu sendiri. Didalam pelaksanaan sjolat ada beberapa hal yang harus di lakukan seseorang yang hendak melaksanakan sholat seperti mempunyai wudu’ suci tempatnya atau pekayannya karna kedua hal tersebuit merupakan salah satu dari syarat shalat sehingga ketika seseorang melakukan shalat dan keduanya ditinggalkan maka hal tersebut dapat membatalkan shalat seseorang karena ketika salah syarat shahnya shalat di tinggalkan maka secara langsung shalatnya itu tidak di terima oleh Tuhan, baik itu shalat yang wajib ataupun shalat sunnah, yang keduanya itu pernah di lakukan/dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW sehingga sampai sekarang hal itu dilakukan secara berkesinambungan.
Shalat merupakan salah satu bentuk interaksi langsung antara manusia dengan tuhannya, maka dari itu ketika kita melakukan atau melaksanakan shalat kita di anjurkan untuk khususk dalam shalat yang dia lakukan supaya shalat tersebut bisa di terima oleh tuhan Yang Maha Esa, selain dari itu shalat memiliki berbagai macam keistimewaan.
Didalam pelaksanaan shalat Allah tidak memberatkan ummatnya, artinya shalat dapat di tinggalkan ketika seseorang ersebut mempunyai halangan seperti haid bagi wanita dan masih banyak contoh yang lain, dan Allah juga memberikan keringanan terhadap pelaksanaan shalat seperti memperpendek sholat.
B. Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pengertian shalat ?
2.        Sunnah apa saja yang harus dilakukan sebelaum melakukan shalat?
3.        Ada berapakah syarat wajib dan syarat apa sajakah yang harus di lakukan untuk shahnya shalat?
4.        Shalat apa sajakah yang wajib di kerjakan ?
5.        Bagaimana struktur shalat Nabi Muhammad SAW?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk dapat memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ibadah yang dibina oleh Ibu Lathifani Wardah Shomita, S.Th.I. sehingga dengan penulisan makalah ini kami lebih mengetahui sejauh mana kemampuan kami dalam menyerap Mata Kuliah Fiqih Ibadah yg sedang kami tempuh selama ini. Dengan harapan apabila ada kekurangan dalampenulisan Makalah ini atau kekurang fahaman kami di dalam belajar Fiqih Ibadah, ada masukan dari teman-teman Mahasiswa / mahasiswi terlebih dari Dosen Pembimbing kami. Agar kedepanya kami lebih bisa belajar serta mengamalkan Ajaran-ajaran Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad S.A,W. Dengan baik dan benar

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Shalat
Asal makna shalat menurut bahasa arab ialah ”Doa” tetapi yang di maksud di sini ialah shalat yang tersusun dari beberapa pekerjaan dan perbuatan itu yang dimulai dengan takbir dan di sudahi dengan salam yang hal itu harus memenuhi beberapa syarat yang ditentukan. Allah berfirman dalam surat At-Ankabut ayat 4.5.
واقم الصلاة ان الصلاة تنهى عن الفحساء والمنكر (العنكبوت)
Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.[1]
Sedangkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan bahwa pengertian shalat adalah doa memohon kebajikan dan pujian. Sehingga jika ada kata-kata yang berbunyi ”shalat Allah SWT kepada Nabinya” artinya pujian Allah SWT kepada Nabinya, pengertian ini di fahami oleh orang Arab sebelum islam yang hal itu berada di dalam Al-Qur’an (Q.S. 9:103).
B. Yang Sunnat Dilakukan Sebelum Shalat
Adapun yang sunah dilakukan ketika seseorang tersebut hendak melakukan atau melaksanakan shalat ialah ketika waktu sampai pada waktunya yang biasanya di tandai dengan kumandang adzan, maka seorang hamba wajib melaksanakan shlat tersebut.
Adzan memiliki arti ”memberitahukan” yang dimaksud disini ialah ”memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dengan lafaz yang ditentukan oleh syarat”. Dalam lafaz adzan itu terdapat pengertian yang mengandung beberapa maksud penting, yaitu sebagai akidah, seperti adanya Allah yang Maha Besar bersifat Esa, tidak ada sekutu bagi0Nya; serta menerangkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan allah yang cerdik dan bijaksana untuk menerima wahyu dari Allah. Sesudah kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad utusan-Nya, kita diajak menanti perintahnya, yakni mengerjakan shalat, kemudian diajaknya pula pada kemenangan dunia dan akhirat. Akhirnya disudahi dengan kalimat tauhid.[2]
Adzan dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa waktu shalat telah tiba dan menyerukan untuk melakukan shalat berjamaah. Selain itu untuk mensy iar agama islam di muka umum. Allah telah berfirman dalam surat Al-Jumuah ayat 9 sebagai berikut :
يايها الذين امنوا اذانودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعواالى ذكرالله وذروا البيع ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون (الجمعة)
”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tingglkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah).
C. Syarat Wajib Shalat dan Syarat Shah Shalat
1.        Syarat Wajib Shalat
Kewajiban shalat itu dibebankan atas orang yang memenuhi syarat-syarat yaitu, islam, balig, berakal, dan suci.
Orang kafir tetap berdosa karena tidak mengerjakan shalat, sebagaimana ditunjukkan
oleh ayat :
”Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?” Mereka menjawab: ”Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. (Al-Muddatstsir/74: 42-43).
Akan tetapi, mereka tidak dituntut melakukannya sebab shalat itu tidak sah dilakukan oleh kafir. Jika seorang kafir masuk islam, kewajiban shalat sebelumnya menjadi gugur dan ias tidak dituntut mengqada’ shalat msa kafirnya.
Orang murtad, jika masuk islam kembali, wajib mengqada’ shalat yang tinggal selama murtadnya, sebab kewajiban shalat itu tidak gugur oleh kemurtadannya.
Anak-anak dan orang yang hilang akal karena gila atau sakit, tidak wajib melakukan shalat berdasarkan sabda Rasulullah saw :
رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
Diangkat qalam dari tiga orang; orang tidur sampai terjaga, anak-anak sampai dewasa, dan ornga gila sampai ia sadar kembali. (HR. Abu Daud dan Tirmidiy).
Orang yang sedang haid atau nifas tidak wajib shlat, bahkan tidak sah melakukannya sesuai dengan hadis ”A’isyah;
كنا نحيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم نطهر فنؤمر بقضاء الصوم ولانؤمر بقضاءالصلاة
Kami haid, di sisi Rasulullah saw., kemudian suci kembali, lalu kami disuruhnya mengqada’ puasa dan tidak disuruh mengqada’ shalat.
Jika orang yang memenuhi persyaratan ini tidak melakukan shalat, karena tidak mengakui kewajibannya, maka dengan demikian ia telah menjadi kafir dan wajib dihukum bunuh sebagai orang murtad. Sedangkan orang yang tetap mengakuinya sebagai kewajiban, tetapi tidak melakukan karena malas atau alasan lainnya, para ulama berbeda pendapat tentang hukumannya.
Ahmad ibn Hanbal, Ishaq, dan Ibn Al-Mubarak berpendapat bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan wajib dibunuh sebagai orang kafir. Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i, berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap sebagai orang muslim, tetapi ia berdosa besar, dan wjib di hukum bunuh. Berbeda denganpendapat yang pertama, hukuman ini dipandang sebagai had atas kesalahannya meningglkan shalat. Menurut Ahl Al-Zair, orang yang meninggalkan shalat dikenakan hukuman ta’zir,yakni dipenjarakan sampai ia melakukan shalat.
2.        Syarat Shah Shalat
Shalat dianggap sah menurut syara’ apabila dilakukan dengan memenuhi persyaratan tertentu yaitu :
a. Suci badan dari hadats dan najis
Dalam hal ini sebelum melakukan shalat seseorang harus bersuci dari hadats besar maupun kecil, dengan mandi, wudhu’, atau tayammum sesuai dengan keadaannya masing-masing. Keharusan bersuci ini didasarkan atas beberapa dalil ayat Al-Qur’an yang tertera dalam syrat Al-Maidah ayat 5:6 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, pabila kamu hendak mengerjakan shalat, mka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,.........(Al-Maidah/5: 6).
Jika seseorang melakukan shalat tanpa bersuci dari hadats, baik dengan sengaja maupun terlupa, maka shalatnya menjadi batal sebab syarat-syarat tidak terpenuhi lagi.
Selain suci dari hadats juga disyaratkan suci badan, pekaian dan tempat shalat dari najis berdasarkan beberapa dalil sebagai berikut : Ayat Al-Qur’an :
وثيابك فطهر
Dan pakaianmu bersihkanlah (Al-Muddatstsir/ 74:4).
Hadits :
اذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة واذا ادبرت فاغتلي وصلى
Apabila datang haid maka tinggalkanlah shalat, dan apabila hid itu telah pergi mka basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.
Ayat dan hadits ini menunjukkan keharusan menyucikan badan dari najis, sedangkan keharusan kesucian pakaian diambil dari perintah Rasul saw. Untuk mencuci pakaian yang terkena darah haid.
b. Menutup Aurat Dengan Pakaian yang Bersih
Menurut lughat, aurat berarti kekurangan, cacat, dan sesuatu yang memalukan. Menutup aurat itu wajib dalam segala hal, di dalam dan di luar shalat.
Kewajiban menutup aurat di dalam shalat termasuk hal yang disepakati (ijma’) ulama’, dan juga didasarkan pada hadits Rasul saw .: yang artinya :
Allah tidak menerima shalat perempuan yng telah dewasa kecuali dengan memakai khimar, kerudung. (HR. Tirmiziy).
Bahan penutup aurat itu mestilah cukup tebal dan rapat sehingga dapat menutupi warna kulit dari pandangan.
Orang yang benar-benar tidak mendapatkan pakaian untuk menutup auratnya dibolehkan shalat dalam keadaan telanjang; shalatnya sah dan tidak mesti diulang lagi.
Adapun batas-batas aurat yang wajib ditutupi itu, bagi laki-laki ialah pusat dengan lutut, sedangkan bagi perempuan iaolah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Menurut Ahmad ibn Hanbal, aurat laki-laki hanyalah qubul dan duburnya, tetapi seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk wajah dan tangannya. Menurut Abu Hanifah, telapak kaki perempuan tidak termasuk aurat.
c. Mengetahui Waktu Shalat
Persyaratan ini harus terpenuhi dengan benar-benar mengetahui masuknya waktu berdasarkan tanda-tanda seperti yang telah dijelaskan terdahulu, atau melalui ijtihad. Ijtihad yang dimaksudnkan dapat berupa perkiraan waktu berdasarkan kegiatan tertentu, seperti membaca wirid atau pelajaran, menulis, menjahit, atau pekerjan lainnya. Dapat juga dengan memperhatikan tanda-tanda lain seperti kokok ayam, suara azan, posisi bintang-bintang, perhitungan waktu shalat dengan menggunakan rumus-rumus ilmu falak dan sebagainya. Orang yang tidak sanggup berijtihad karena tidak mengetahui tanda-tanda terkait dapat bertaqlid mengikutu ijtihad orang lain.[3]
d. Menghadap Kiblat
Para ulama telah ijma’ mengatakan bahwa tidak sah shalat tanpa menghadap qiblat. Orang yang melakukan shalat harus menghdap dadanya ke qiblat. Yang hal ini tertera dalam nas Al-Qur’an yang berbunyi :
Palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu kearah qiblat. (Al-Baqarah/2: 144).
D. Shalat yang Wajib di Lakukan Oleh Mukalaf
Shalat yang wajib bagi tiap-tiap dewasa (mukallaf) yang berakal sehat ialah lima kali sehari semalam, yakni shalat dhuhur, ashar, mghrib, isya’ dan subuh yang hal ini berkumpul semuanya sebagai kesatuan hanya pada ajaran dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Dan kefardhoan shalat yang lima wktu itu di turunkan malam isro’ malam 27 buln rajab tahun 3 bulan terhitung semenjak Muhammad diangkat menjadi Rasul.[4]
E. Struktural Shalat Nabi
Berangkat dari sebuah hadits yang berbunyi :
صلواكمارايتموانى اصلى
Yang mempunyai arti “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat“.
Hadits tersebut mencerminkan, beliau sangat khawatir, kepada umatnya, tidak lagi mampu melakukan shalat sebagaimana pernah dikerjakannya, tentu beliau dalam melakukan shalat tidak saja sekedar jungkar-jungkir tanpa mempunyai makna yang dalam bagi kahidupannya, sehingga secara teori dengan gamblang diterangkan bahwa shalat adalah ibadah yang utama dan sebagai penentu seluruh amalan lainnya.
Agar tingkat kekhawatiran Rasulullah saw tidak menjadi kenyataan, dibawah ini diterangkan bagaimana shalat pernah dilakukan beliau secaa utuh dan bernilai bagi kehidupan.
Pertama, shjalat berbentuk struktural, yaitu shalat wajib yang dilakukan lima kali sehari semalam, yaitu subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya’ yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Adapun di luar itu bersifat sunnah, baik yang muakkat maupun yang sunnah biasa.pembahasan disini dikhususkan pada masalah shalat wajib, dan dampak siklus rutinitas sehari-hari, sehingga terbentuk kehidupan manusia proaktif dan berkembang secara dinamis menuju kehidupan yag lebih baik.
Shalat struktural merupakan bentuk shalat vertikal, yaitu hablum minallah (hubungan manusia dengan Tuhan Allah swt). Sedangkan shalat struktural ada tiga pokok utama sebagai satu paket yang harus dilakukan secara utuh, yaitu : Wudhu, shalat dan do’a.[5]
a.        Wudhu
Wudhu menurut bahasa indonesia, mensucikan diri sebelum shlat dengan membasuh muka, tangan, sebagian kepala dan kaki. Sedangkan menurut bahasa Arab, berasal dari kata wadhua-wudhuuan, yang berarti bersih. Jadi wudhu adalah bersuci atau membersihkan anggota badan sesuai dengan syari’ah islam yang telah ditentukan.
Pelaksanaan wudhu dilakukan atas dasar perintah Allah swt:’ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki dan jika kamu junub, maka mandilah dan jika kamu sakit atai dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus/WC) atau menyentuh perempuan, lalu jika kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak akan menyulitkan kamu tetapi dia hendak memberishkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur“.
b.        Shalat
Shalat struktural yang pernah dilakukan Nabi sawdengan urutan sebagai berikut :
1. Takbir
Shalat langsung diawali dengan takbir, sebab dasaat mau mengambil ir wudhu, otomatis pada waktu itu niat shalat telah berlaku, sebab wudhu yang dilakukan memang diperuntukkan niat untuk shalat. Setelah wudhu dengan sempurna, langsung berdiri menghadap ke kiblat dan takbir.
2. Iftitah
Setelah takbir dengan sempurna dalam posisi sendekap, langsung membaca do’ iftitah. Do’a ini banyak jenisnya, sebab Nabi saw pernah melakukan berbagai macam. Pelaku shalat dapat memilih slah satu diantara yang ada, sesuai dengan kelonggaran waktu yang dimiliki, apabila waktunya panjang, dapat memilih yang panjang dan sebaliknya jika waktunya sempit, boleh memilih yang pendek.
3. Membaca Al-Fatihah dan Salah Satu Surat Al-Qur’an
Setelah selesai membaca do’a iftitah, langsung membaca al-fatihah dan posisi gerakannya tetap seperti disaat iftitah. Membaca al-fatihah ini mutlak, sebagaimana sabda Nabi saw :
عن عبادة بن الصامت قال, قال رسول الله صلعم لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القران
Dari ‘Ubadah bin Shamid, i berkata : Telah bersabda Rasulullah saw.: Tidak ada shlat (tidak syah) bagi orang yang tidak membaca ummul Qur’an (Al-Fatihah) (HR. Bukhari Muslim).
Setelah selesai membaca Al-Fatihah, langsung membaca salah satu surat atau ayat Al-Qur’an dan posisi gerakannya sama (sendekap) sebagaimana disaat membaca Al-Fatihah. Usahakan memilih surat atau ayat yang difahami maknanya agar dapat menjiwai disaat membaca, adapun panjang pendek surat (ayat) disesuaikan dengan kelonggaran waktu.
4. Ruku’
Setelah selesai membaca salah satu surat (ayat), lalu takbir “Allahu Akbar”, dan langsung badan membungkuk hingga kedua tangan diletakkan pada kedua lutut kaki. Adapun bacan yang pernah dilakukan Rasulullah saw juga banyak jenisnya, dibolehkan memilih salah satu, sesuai kelonggaran waktu. Do’a tersebut sebagai berikut :
a. Do’a ruku’ yang pernah dibaca Rasulullah saw :
سبحان ربي العظيم
Maha suci Tuhanku, tuhan yang Maha Besar (HR. Muslim dan Ashabus Sunan).
Rasulullah saw, kadang-kadang berlama-lama ruku’ membaca do’a sepuluh kali tsbih ini, kadang lebih dari itu dan sekurang-kurangnya 3 kali, sebab kalau ada keperluan beliau menyegerakan shalatnya.
5. I’tidal
Setelah ruku’ dilakukan dengan sempurna, lalu bangun sambil mengangkat tangan sebagaimana cara bertakbir, kemudian tangan lurus dengan badan dan bacaannya sebagai berikut :
سمع الله لمن حمده
Mudah-mudahan Allah mendengar pujian orang-orang yang memuji-mujinya (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abi Daud dari Ali ra).
6. Sujud
Setelah membaca do’a I’tidal langsung bersujud dengan cara meletakkan kedua lututnya terlebih dulu ke depan, kemudian baru meletakkan kedua tangannya di samping kiri-kanan kepala dan jari-jari tangan rapat sama dengan di saat takbir.
7. Duduk di antara dua sujud
Setelah sujud selesai dengan sempurna, lalu duduk iftirasy dengan cara melipatkan kaki kiri dan meletakkan punggung (pantat) atasnya serta menegakan kaki kanan serta menghadapkan ujung-ujung anak jari ke kiblat.
8. Duduk takhiyat atau tasyahud
Setelah selesai semua prosesi rakaat pertama dan kedua, langsung duduk takhiyat atau tasyahud dengan cara kaki kiti diletakkan di bawah kaki kanan, sebagaimana posisi duduk diantara dua sujud dan ia genggam tangannya dengan isyarat telunjuknya.
9. Salam (takhiat akhir)
Selesai tasyahud akhir langsung salam, dengan cara menoleh kekanan dan kekiri sambil membaca :
السلام عليكم ورحمة الله
c.        Do’a
Adapun do’a yang sering Rasulullah baca ketika selesai shalat ialah sebagai berikut :
لا اله الاالله واحده لاشريك له, له الملك وله الحمد وهو على كم شئ قدير, اللهم لا مانع أعطية ولا معطي لما منعت ولاينفع ذالجد اللهم انى اعوذبك من البخل واعوذبك من الجبن واعوذ بك من ان ارد الى ارذل العمر واعوذبك من فتنة الدنيا واعوذبك من عذاب القبر اللهم انت لسلام ومنك السلام بتاركت ربنا ياذالجلال والاكرام
Setelah slesai seluruh prosesi shalat yang mulai dari takbir hingga salam, kemudian membaca do’a-do’a sesuai dengan contoh Rasulullah saw atau dapat juga ditambah asalkan riwatnya sah. Do’a sesuadah shalat yang pernah dilakukan Rasulullah saw,:
„Tidak ada Tuhan kecuali Allah sendiri, tiada sekutu baginya, kepunyaan-Nyalah sekalian kerajaan dan bagi-Nyalah sekalian pujian dan ia di atas sesuatu amat berkuasa. Wahai Tuhan yang tidak ada yang bisa menghlangi apa yang engkau beri dan tidak ada yang bisa menarik manfaat dari padamu untuk si kaya“ (HR. Muttafaqun’Alaih). “Wahai Tuhanku, aku berlindung kepadamu dari pada kebakhilan dan aku berlindung kepadamu dari pada ketakuta, dan aku berlindung dari padamu daripada umur yang pikun dan aku berlindung kepadamu daripada percobaan hidup dan aku berlindung kepadamu dari azab kubur“ (HR. Bukhari). “Wahai Tuhan, tolonglah aku untuk dapat mengingatmu dan berterima kasih kepadamu dan beribadah yang baik kepadamu“ (HR. Abu Daud, Ahmad dan An-Nasa’i).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat kami simpulkan beberapa hal sebagai berikut :
v Shalat ialah ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuataan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
v Azan merupakan sebuah pemberitauan terhadap orang muslim untuk melaksanakan perintah Allah, yakni shalat yang hal itu merupakan sebuah kesunnahan sebelum melaksanakan shalat.
v Shalt merupakan suatu kewajiban bagi ummat islam, akan tetapi ketika seseorang hendak melksanakan shalat ada beberapa hal yang harus di penuhi dalam pelaksanaan shalat tersebu yakni, islm, baligh, dan suci ketika empat syarat tersebut tidak tepenuhi kma gugurlah shalat seseorang itu.
v Shalat merupakan salah satu interaksi antara Tuhan dengan hambanya, kan tetapi shalat di anggap sah ketika terpenuhi syarat shah shalat, yang di antaranya ialah suci bdan, dari hadats dan najis.
v Shlat yang wajib di wajibkan oleh tiap mukallaf ialah dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh.
v Shalat struktural merupakan bentuk shlat vertikal, yaitu hablum minallah sedangkan shalat struktural ada tiga pokok utama sebagai satu paket yang harus dilakukan secara utuh yaitu, wudhu’, shalat dan do’a.






DAFTAR PUSTAKA

Rasyid Sulaiman, Fiqih Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994).
Nasution Lahmuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999).
As’ad Aliy, Fathul Mu’in (Kudus : Menara Kudus, 1979 M).
Abdul Karim Nafsin, Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan Realita (Mojokerto : C Al-Himah, 2005).

[1] Rasyid Sulaiman. Fiqih Islam (Bandung : Sinar Baru Al-Gensindo.1994), hlm., 53
[2] Ibid; hlm., 53.
[3] Nasution Lahmuddinn, Fiqih Ibadah (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2999), hlm.,
     63.
[4] As’ad Aliy, Fathul Mu’in (Kadus : Menara Kudus, 1979 M), hlm.,9.
[5] Bdul Karim Nafsin ; Menggugat Orang Shalat Antara Konsep dan Realita
     (Mojokerto :CV Al-Himah, 2005), hlm., 26.

























TAHSIN, TARTIL DAN TAHFIDZ

A. Pendahuluan
Al Qur’an bisa dikatakan sebagai kitab suci yang unik, karena
dibandingkan dengan kitab suci samawi lainnya Al Qur’an memiliki banyak
dimensi. Yang saya maksud disini adalah; bahwa ketika kitab suci samawi
lainnya hanya memiliki fungsi sebagai pedoman hidup umatnya, maka
al Qur’an hadir dengan berbagai dimensinya.
Fungsi utama al Qur’an adalah pedoman bagi umat nabi Muhammad
sebagai wahyu Allah yang harus diyakini dan diamalkan. Keimanan terhadap
al Qur’an merupakan suatu dasar dari pokok keimanan aqidah Islam. Isi al
Qur’an adalah suatu aturan bagi manusia yang kita namai sebagai syari’at.
Disinilah alasan sehingga al Qur’an memiliki banyak nama terakit dengan
fungsinya, seperti : Al Huda yang berarti petunjuk, al Bayan yang berarti
memberikan penjelasan bagi manusia, Al tadzkir yang berarti pengingat, Al
furqon yang berate pembeda antara yang benar dan salah, dan lain-lain.
Akan tetapi yang menarik adalah bahwa kehadiran al Qur’an tidak hanya
berada dalam dimensi aqidah dan syari’ah saja, Ia juga hadir dalam dimensi
lain diantaranya :
a. Medis / Al Syifaa ; al Qur’an merupakan obat bagi orang yang sakit.
Dalam kedudukannya sebagai obat memiliki dua fungsi, yaitu obat
penyakit yang bersifat jasadi dan ruhani.
b. Dimensi Mistis ; suatu saat Rasulullah pernah diguna-guna oleh
seorang penenung hingga kemudian turun surat al Falaq sebagai
penangkal dari kekuatan sihir.
c. Dimensi ilmu pengetahuan ; al qur’an banyk memberikan pengetahuan
bagi manusia baik bidang medis, fisika, dll.
d. Dimensi estetis ; salah satu kemu’jizatan al Qur’an adalah dari sisi
keindahan bahasa dan bacaannya.
e. Dimensi ibadah ; al qur’an merupakan media ibadah melalui
pembacaannya. Al Qur’an sendiri secara lughowi berarti bacaan –
berasal dari kata qara’a artinya membaca. Dan untuk menjadikannya
bernilai ibadah maka membaca al Qur’an menggunakan ilmu tersendiri.
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
1
B. Keutamaan Hamil al Qur’an
Hamala secara bahasa berarti mengandung atau membawa. Adapun haamil
adalah isim fa’il dari hamala yang berarti orang yang mengandung atau
membawa. Yang dimaksud dengan Hamil al Qur’an adalah orang yang
mengorientasikan hidup bagi al Qur’an. Hal itu bisa dilakukan secara langsung
atau sesuai dengan profesinya masing-masing. Yang termasuk kedalam
haamilil Qur’an diantaranya adalah :
1. Orang yang mengamalkan al Qur’an baik dalam bentuk pengamalan
maupun pengajaran.
2. Penghafal al Qur’an
3. Pembaca al Qur’an
4. Yang mempelajari al Qur’an
5. Senang Mendengarkan al Qur’an
6. Cinta terhadap al Qur’an
7. Orang yang membesarkan al Qur’an
Terdapat banyak sekali keutamaan membaca dan menghafal al Qur’an serta
mengamalkan al Qur’an. Keutamaan haamil al Qur’an diantaranya :
1. Dirindukan surga, sebagaimana hadits Nabi saw :
ان الجنقة مسقتقل علقى اربعقة خصقال : حامقل الققران,
وحافظ اللسان, ومطلع الجيعن, وصائم رمضان
“Sesungguhnya surga merindukan empat golongan ; haamil al Qur’an, yang
menjaga lidah, yang memberi orang yang kelaparan, dan yang puasa
Ramadhan”.
2. Diberi keutamaan yang sempurna dari Allah :
مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ وَذِكرِْي عَنْ مَسْألََتيِ أعَْطَيتْهُُ أفَْضَلَ مَا
أعُْطِي السّائلِِينَ وَفَضْلُ كلََم اللّهِ عَلَى سَائرِِ الْكلََم كفََضْلِ
اللّهِ عَلَى خَلْقِهِ
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
2
“Barang siapa yang tersibukan dengan al Qur;an dan masalah agama maka Aku
akan beri ia karuniai yang paling utama yang diminta oleh orang yang berdoa
dan keutamaan kalam Allah dari semua kalam-Nya seperti karunia yang Allah
berikan kepada makhluk-Nya”. HR Turmudzi.
3. Diberikan rahmat dan ketenangan :
قَالَ مَا اجْتمََعَ قَوْمٌ فِي بيَتٍْ مِنْ بيُوُتِ اللّهِ تعََالَى يتَلُْونَ كتِاَبَ
اللّهِ وَيتَدََارَسُونهَُ بيَنْهَُمْ إلِّ نزََلَتْ عَلَيهِْمْ السّكيِنةَُ وَغَشِيتَهُْمْ
الرّحْمَةُ وَحَفّتهُْمْ الْمَلَئكِةَُ وَذَكرََهُمْ اللّهُ فِيمَنْ عِندَْهُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam rumahnya kemudian dibacakan kitab
Allah dan bersolawat kecuali Allah akan menurunkan ketenangan dan
memberikan rahmat dan para malaikat menjaga, Allah akan menyebutkan
orang yang ada didalamnya”. HR Daud
4. Masuk surga dan keluarga diselamatkan dari api neraka.
وَسَلّمَ مَنْ تعََلّمَ الْقُرْآنَ فَاسْتظَْهَرَهُ وَحَفِظَهُ أدَْخَلَهُ اللّهُ الْجَنةَّ
وَشَفّعَهُ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أهَْلِ بيَتْهِِ كلُّهُمْ قَدْ وَجَبتَْ لَهُمْ الناّرُ
“Barang siapa yang mempelajari al Qur’an kemudian menjelaskannya dan
menjaganya maka akan masuk surga Allah dan akan diberi syafaat kepada 10
keluarganya kesemuanya diharamkannya dari api neraka”.HR. Ibnu Majah
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
3
C. Ruang Lingkup Tahsin, Tartil dan Tahfidz dalam Ulum al Qur’an
Dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman, terdapat ulumul qur’an. Para
ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ulumul qur’an adalah setiap
ilmu yang objek materinya adalah al Qur’an.
Secara sederhana pembagian ulmul qur’an dapat dilihat pada table berikut :
Bacaan ilmu tajwid
Ilmu maghmat / nagham
Ilmu qiroat
Ulum al Qur’an Penulisan rasm al Qur’an
Tartibul ayah wa al surah
Kandungan/tafsir I’jaz al Qur’an, Aqsam al
Qur’an, amtsal al Qur’an,
Muhkam mutasyabih,
nasikh mansukh, nuzul al
Qur’an, al maki wa al
madani, qisos al Qur’an,
qawaid tafsir, dll.
Ilmu Tajwid, Ilmu Qiroat dan Ilmu Nagham
Ketiga ilmu diatas merupakan ilmu yang digunakan dalam membaca al
Qur’an. Definisi dari ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut :
Ilmu Tajwid
Tajwid secara bahasa adalah at tahsiinu yang berarti membaguskan
sedangkan menurut terminology para ulama adalah :
علم يعرف به أعطاء كل حرف حقه ومستحقه من الصفات والمدود
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
4
و غير ذالك كالترقيق والتفخيم ونحوهما
“Ilmu yang dengannya bias mengetahui cara memberikan kepada setiap huruf
hak dan mustahaqnya yang terdiri atas sifat-sifat huruf, hukum mad dan lain
sebagainya. Sebagai contoh adalah tarqiq, tafkhim dan yang semisalnya”.
Ulama ahli tajwid menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak huruf
adalah hukum yang menempel terhadap huruf sedari asalnya, seperti hukum
makhroj dan sifat. Sedangkan mustahaq huruf adalah hukum baru yang timbul
setelah huruf berpadu dengan huruf lainnya.
Objek daripada ilmu tajwid tiada lain adalah huruf-huruf hijaiyah, baik
ketika ia sedang bersendirian (makhorijul huruf dan sifatul huruf), atau ketika
huruf sudah berhubungan dengan huruf lain baik dalam satu kalimat maupun
lebih (ahkamul huruf, ahkamul mad),maupun ketika huruf sudah membentuk
suatu kalimat dan hubungannya dengan kalimat lain dalam satu ayat atau lebih
(ahkamul waqfi wal ibtida).
Ilmu Qiroat
Ilmu qiroat adalah ilmu yang mempelajari perbedaan lafadz–lafadz al Qur’an
baik yang disepakati maupun yang iktilaf oleh para ahli qiroat yang diperoleh
melalui periwayatan.
Contoh :
Dalam membaca بالخرة
Ada ulama ahli qiroat yang membaca sesuai dengan tulisan tersebut adalah
juga yang di-ibdal-kan (digantikan posisi harkat) menjadi بلخرة
Objek daripada ilmu qiroat adalah kalimat-kalimat dalam al Qur’an dalam hal
perbedaan bacaannya.
Adapun qiroat yang mutawatir, yaitu ada tujuh yang disebut dengan
qiroat sab’ah.
Qiroat sab’ah ini terbagi menjadi beberapa kelompok. Pengklasifikasian
didasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan mad jaiz munfashil.
- kelompok yang membacanya dua harkat ( قصر ) disebut
dengan kelompok حقققدر (cepat).
- kelompok yang membacanya 4 harkat ( توسققققققط ) disebut
dengan kelompok تققد ويققر (pertengahan)
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
5
- Kelompok yang membacanya 6 harkat ( طققققول ) disebut
dengan kelompok تققرتققيقل (lambat)
قالون نافع حدر
بزي ابن كثير
قنبول
سوسي ابو عمروا
دوري ابققى عمققروا
ابن ابن عامر تدوير مققراتققب القققراة
دكوان
Martabat هشام
pembacaan ابن الحارث كسائي
al Qur’an دوري كسائى
حفص عاصم ترتيل
شعبة
خلف همزة
خلد
ورش
Ilmu Nagham
Ilmu nagham adalah ilmu lagu al Qur’an. Yaitu ilmu yang mempelajari lagulagu
yang digunakan dalam membaca al Qur’an. Tingkatan dalam pembacaan
al Qur’an berdasarkan penggunaan lagu terdiri dari tiga tingkatan :
1. Mu’allam ; adalah membaca al Qur’an pada tingkat belajar, sehingga
pembacaan difokuskan pada benar atau salahnya bacaan dan tidak
menggunakan lagu. Dalam beberapa hal mu’allam memiliki persamaan
dengan tahsin.
2. Murottal ; adalah membaca al Qur’an yang menfokuskan pada dua hal
yaitu kebenaran bacaan dan lagu al Qur’an. Karena konsentrasi bacaan
difokuskan pada penerapan tajwid sekaligus lagu, maka porsi lagu
qur’an tidak dibawakan sepenuhnya. Hanya pada nada asli atau jawab
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
6
dengan tingkat suara sedang.
3. Mujawwad ; adalah membaca al Qur’an dengan lagunya secara
sempurna baik dalam tingkatan nadanya maupun jenis dan variasi lagu.
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
Adapun tahsin merupakan definisi dari tajwid secara bahasa yang
berarti membaguskan, ia memiliki persamaan dengan التيان بالجيد yang
berarti berupaya untuk menjadikan baik. Secara leksikal tahsin berarti
membaguskan bacaan al Qur’an atau dengan kata lain membaca al Qur’an
dengan sebaik-baiknya. Tentu saja untuk mencapainya berarti dengan
menggunakan ilmu tajwid – tahsin adalah membaca al Qur;an dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmu tajwid.
Tartil berasal dari dari kata ratala yang memiliki arti sama dengan
hasan atau tahsin yaitu membaguskan bacaan. Dalam al qur’an kata tartil
terdapat dalam dua tempat, yaitu surat al Furqan ayat 32 dan al muzammil ayat
4, dan diartikan sebagai bacaan yang teratur dan benar.
Dalam khazanah ilmu qiroat, tartil merupakan tingkatan dalam bacaan
al Qur’an مراتقب الققراءة ) ) yang berarti bacaan yang lambat dan
menggunakan bacaan riwayat yang termasuk kepada martabat tartil. Sehingga
yang dimaksud dengan tartil adalah membaca al Qur’an dengan menggunakan
riwayat tartil.
Adapun tahfidz berasal dari kata hafadzo yang berarti menjaga. Tahfidz
termasuk kepada mashdar yang berarti menjaga dengan sangat. Adapun makna
yang dimaksud disini adalah menghafal al Qur’an. Upaya menghafal al Qur’an
sudah ada sejak masa nabi. Nabi adalah sayidul huffadz (pimpinan para
hafidz), dan menghafal al Qur;an merupakan salah satu upaya pelestarian la
Qur’an selian dari pada penulisan.
D. Mengenal Pola Lagu Murottal
Lagu Murottal sebenarnya terdiri dari tujuh lagu sebagaimana lagu pada
mujawwad. Meskipun demikian yang populer dibawakan hanya beberapa lagu
saja, seperti lagu Rasy, hijaz dan nahwand. Setiap lagu-lagu al Qur’an, ketika
dimurotalkan pada dasarnya memiliki nada dan variasi yang dinamis, akan
tetapi kita dapat membuat pola-pola dari lagu tersebut sehingga bacaan murotal
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
7
kita memiliki keajegan.
Jumlah dan bentuk pola murotal tergantung daripada jenis lagunya
sendiri. Dapat diambil contoh :
Lagu Nahwand terdiri dari tiga tingkatan ; nahwand ashli, nahwand jawab dan
nahwand jawabul jawab. Nahwand ashli memiliki tiga bentuk lagu murotal,
yaitu :
- Pola 1 ; nada keatas/ashli silim rofa’
- Pola 2 : nada lurus / ashli silim jawab
- Pola 3 : nada kebawah / ashli silim nuzul
Kemudian dari Nahwand jawabul jawab terbentuk satu buah pola , yaitu pola 4
dengan nada jawabul jawab.
Kemudian dari pola 1 didapat variasi baru yang bisa kita namakan pola 5
sebagai turunan dari pola 1. kita dapat pula mencari variasi-variasi baru dan
kita berikan nama pola dengan urutan nomor.
Pola-pola diatas akan sangat membantu bagi yang baru belajar murotal.
Dalam murotal kita akan menggunakan komposisi lagu sebagai berikut :
Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 4
Pola 2
Pola 3
Pola 5
Pola 1
Pola 3
Pola diatas merupakan satu komposisi lagu nahwand yang utuh. Kemudian kita
dapat mengulang-ulangnya kembali.
Bilamana sudah mahir, maka kita dapat membuat variasi-variasi baru dengan
pola-pola baru. Kita pula dapat membuat komposisi lagu yang berbeda-beda.
Seperti dari pola 1 langsung ke pola 3 kemudian pola 4 kemudian ke pola 1 dan
berulang-ulang.
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
8
Demikianlah metode pola murottal. Ia didapat dari lagu mujawwad dengan
memformulasikan lagu pada tingkat yang lebih sederhana. Mencari mana lagu
yang sifatnya ashli dan ajeg dengan lagu yang merupakan variasi atau turunan
dari lagu asli.
Selain itu, bagi yang sudah mahir, dalam satu pembacaan kita dapat
menggabungkan berbagai komposisi lagu menjadi suatu gubahan yang
lengkap. Diawali dengan bayati, dilanjutkan dengan lagu-lagu lainnya, dan
diakhiri dengan bayati akhir.
Selamat mencoba !.
*Makalah disampaikan pada kegiatan sekolah al Qur’an di Mesjid Salam ITB, 22 September
2007
* Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Praktisi al Qur’an.
Tahsin, Tartil dan Tahfidz
9

Membaca Al-Quran Dengan Tajwid

 

Membaca Al-Quran Dengan Tajwid

 

 

Dalam membaca Al-Quran agar dapat mempelajari, membaca dan memahami isi dan makna dari tiap ayat Al-Quran yang kita baca, tentunya kita perlu mengenal, mempelajari ilmu tajwid yakni tanda-tanda baca dalam tiap huruf ayat Al-Quran. Guna tajwid ialah sebagai alat untuk mempermudah, mengetahui panjang pendek, melafazkan dan hukum dalam membaca Al-Quran.
Tajwīd (تجويد) secara harfiah mengandung arti melakukan sesuatu dengan elok dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid berasal dari kata ” Jawwada ” (جوّد-يجوّد-تجويدا)dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara melafazkan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran maupun Hadist dan lainnya.
Dalam ilmu tajwid dikenal beberapa istilah yang harus diperhatikan dan diketahui dalam pembacaan Al-Quran, diantaranya :
a. Makharijul huruf, yakni tempat keluar masuknya huruf
b. Shifatul huruf, yakni cara melafalkan atau mengucapkan huruf
c. Ahkamul huruf, yakni hubungan antara huruf
d. Ahkamul maddi wal qasr, yakni panjang dan pendeknya dalam melafazkan ucapan dalam tiap ayat Al-Quran
e. Ahkamul waqaf wal ibtida’, yakni mengetahui huruf yang harus mulai dibaca dan berhenti pada bacaan bila ada tanda huruf tajwid
f. dan Al-Khat dan Al-Utsmani
Arti lainnya dari ilmu tajwid adalah melafazkan, membunyikan dan menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan dalam ayat Al-Quran. Menurut para Ulama besar menyatakan bahwa hukum bagi seseorang yang mempelajari tajwid adalah Fardhu Kifayah, yakni dengan mengamalkan ilmu tajwd ketika memabaca Al-Quran dan Fardhu ‘Ain atau wajib hukumnya baik laki-laki atau perempuan yang mu’allaf atau seseorang yang baru masuk dan mempelajari Islam dan KitabNya.
Mengenal, mempelajari dan mengamalkan ilmu tajwid berserta pemahaman akan ilmu tajwid itu sendiri merupakan hukum wajib suatu ilmu yang harus dipelajari, untuk menghindari kesalahan dalam membaca ayat suci Al-Quran dan melafazkannya dengan baik dan benar sehingga tiap ayat-ayat yang dilantunkan terdengar indah dan sempurna.
Berikut ini ada dalil atau pernyataan shahih dari Allah SWT yang mewajibkan setiap HambaNya untuk membaca Al-Quran dengan memahami tajwid, diantaranya :
1. Dalil pertama di ambil dari Al-Quran. Allah SWT berfirman dalam ayatNya yang artinya “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)”[QS:Al-Muzzammil (73): 4]. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca Al-Quran yang diturunkan kepadanya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).
2. Dalil kedua diambil dari As-Sunnah ( Hadist ) yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a.(istri Nabi Muhammad SAW), ketika beliau ditanya tentang bagaimana bacaan Al-Quran dan sholat Rasulullah SAW, maka beliau menjawab: ”Ketahuilah bahwa Baginda S.A.W. Sholat kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi, kemudian Baginda kembali sholat yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau sholat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah S.A.W. dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu.” (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi).
3. Dalil ketiga diambil dari Ijma atau pendapat para ulama besar Islam. Yakni kesepakatan para ulama yang dilihat dari zaman Rasulullah SAW hingga sampai saat ini, yang menyatakan bahwa membaca Al-Quran dengan ber-Tajwid merupakan hukum atau sesuatu yang fardhu dan wajib.
Hukum-hukum dalam tajwid beserta komponen ilmu tajwid yang harus dipelajari, dipahami serta diamalkan dalam membaca Al-Quran, antara lain :
1. Hukum Ta’awuz dan Basmalah
Isti’azah atau taawuz adalah melafazkan atau membunyikannya : 
“A’uzubillahi minasy syaitaanir rajiim”
cara melafazkan basmalah adalah bunyinya:
“Bismillahir rahmaanir rahiim”
Terdapat 4 cara membaca iati’azah, basmalah dan surat :
a. memutuskan isti’azah (berhenti) kemudian baru membaca basmalah,
b. menyambungkan basmalah dengan surah tanpa berhenti,
c. membaca isti’azah dan basmalah terus-menerus tanpa henti,
d. membaca isti’azah, basmalah dan awal surat terus-menerus tanpa berhenti.
Terdapat 4 cara membaca basmalah di antara dua surat. Membaca basmalah adalah tanda awal dimulai suatu bacaan dalam surat Al-Quran. Guna dari membaca basmalah suatu keharusan dengan tujuan :
a. Basmalah sebagai pemisah dengan surat Al-Quran yang lain
b. Sebagai penghubung dengan awal surat Al-Quran
c. Sebagai penghubung dari kesemua surat Al-Quran
d. Menghubungkan akhir surat dengan basamalah, lalu berhenti. Namun basamalah tidak selalu menjadi surat awal yang harus terus dibaca untuk melanjutkan surat berikutnya. Walau bagaimana pun, tidak harus membaca demikian karena dikhawatirkan ada yang mengganggap basmalah merupakan salah satu ayat daripada surat yang sebelumnya.
Dalam ilmu tajwid juga dikenal ada 9 hukum bacaan yang isinya menjelaskan bagian-bagian tanda baca dan cara melafazkannya atau pengucapannya, antara lain :
A. Hukum nun mati dan tanwin, terdiri dari : 

1. Izhar Halqi
Izhar halqi bila bertemu dengan huruf izhar maka cara melafazkan atau mengucapkannya harus “jelas” Jika nun mati atau tanwin bertemu huruf-huruf Halqi (tenggorokan) seperti: alif/hamzah(ء), ha’ (ح), kha’ (خ), ‘ain (ع), ghain (غ), dan ha’ (). Izhar Halqi yang artinya dibaca jelas.
Contoh : نَارٌ حَامِيَةٌ
2. Idgham
Hukum bacaan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Jika nun mati atau tanwin bertemu huruf-huruf seperti: mim (م), nun (ن), wau (و), dan ya’ (ي), maka ia harus dibaca lebur dengan dengung.
Contoh: فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ harus dibaca Fī ʿamadim mumaddadah.
3. Idgham Bilaghunnah
Jika nun mati atau tanwin bertemu huruf-huruf seperti ra’ (ر) dan lam (ل), maka ia harus dibaca lebur tanpa dengung.
Contoh: مَنْ لَمْ harus dibaca Mal lam

Pengecualian
Jika nun mati atau tanwin bertemu dengan keenam huruf idgam tersebut tetapi ditemukan dalam satu kata, seperti بُنْيَانٌ, اَدُّنْيَا, قِنْوَانٌ, dan صِنْوَانٌ, maka nun mati atau tanwin tersebut dibaca jelas.
4. Iqlab
Hukum ini terjadi apabila nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf ba’ (ب). Dalam bacaan ini, bacaan nun mati atau tanwin berbah menjadi bunyi mim (م).
Contoh: لَيُنۢبَذَنَّ harus dibaca Layumbażanna
5. Ikhfa’ haqiqi
Jika nan mati atau tanwin bertemu dengan huruf-huruf seperti ta’(ت), tha’ (ث), jim (ج), dal (د), dzal (ذ), zai (ز), sin (س), syin (ش), sod (ص), dhod (ض), tho (ط), zho (ظ), fa’ (ف), qof (ق), dan kaf (ك), maka ia harus dibaca samar-samar (antara Izhar dan Idgham)
Contoh: نَقْعًا فَوَسَطْنَ

B. Hukum mim mati
Selain hukum nun mati dan tanwin adapula hukum lainnya dalam mempelajari dan membaca Al-Quran yakni Hukum mim mati, yang disebut hukum mim mati jika bertemu dengan huruf mim mati (مْ) yang bertemu dengan huruf-huruf arab tertentu.

Contoh bacaan diatas diambil dari (QS: Al-Mu’minun :55-59) yang diberi tanda warna  (biru : ikhfa syafawi), ( merah : idgham mimi), (hijau : izhar  syafawi).
Hukum mim mati memiliki 3 jenis, yang diantaranya adalah :
1. Ikhfa Syafawi (ﺇﺧﻔﺎﺀ ﺷﻔﻮﻱ)
Apabila mim mati (مْ) bertemu dengan ba (ب), maka cara membacanya harus dibunyikan samar-samar di bibir dan dibaca didengungkan.
Contoh: (فَاحْكُم بَيْنَهُم) (تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ) (وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ)
2. Idgham Mimi ( إدغام ميمى)
Apabila mim mati (مْ) bertemu dengan mim (م), maka cara membacanya adalah seperti menyuarakan mim rangkap atau ditasyidkan dan wajib dibaca dengung. Idgham mimi disebut juga idgham mislain atau mutamasilain.
Contoh : (أَم مَنْ) (كَمْ مِن فِئَةٍ)
3. Izhar Syafawi (ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺷﻔﻮﻱ)
Apabila mim mati (مْ) bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain huruf mim (مْ) dan ba (ب), maka cara membacanya dengan jelas di bibir dan mulut tertutup.
Contoh: (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) (تَمْسُونَ)

C. Hukum mim dan nun tasydid
Hukum mim dan nun tasydid juga disebut sebagai wajib al-ghunnah (ﻭﺍﺟﺐ ﺍﻟﻐﻨﻪ) yang bermakna bahwa pembaca wajib untuk mendengungkan bacaan. Maka jelaslah yang bacaan bagi kedua-duanya adalah didengungkan. Hukum ini berlaku bagi setiap huruf mim dan nun yang memiliki tanda syadda atau bertasydid (ﻡّ dan نّ).
Contoh: ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠِﻨﱠﺔ ﻭَﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ

D. Hukum alif lam ma’rifah
Alif lam ma’rifah adalah dua huruf yang ditambah pada pangkal atau awal dari kata yang bermakna nama atau isim. Terdapat dua jenis alif lam ma’rifah yaitu qamariah dan syamsiah.
- Alif lam qamariah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah, seperti: alif/hamzah(ء), ba’(ب), jim (ج), ha’ (ح), kha’ (خ), ‘ain (ع), ghain (غ), fa’ (ف), qaf (ق), kaf (ك), mim (م), wau(و), ha’ (ﮬ) dan ya’ (ي). Hukum alif lam qamariah diambil dari bahasa arab yaitu al-qamar(ﺍﻟﻘﻤﺮ) yang artinya adalah bulan. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini adalah dibacakan secara jelas tanpa meleburkan bacaannya.
- Alif lam syamsiah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah seperti: ta’ (ت), tha’ (ث), dal(د), dzal (ذ), ra’ (ر), zai (ز), sin (س), syin (ش), sod (ص), dhod (ض), tho (ط), zho (ظ), lam(ل) dan nun (ن). Nama asy-syamsiah diambil dari bahasa Arab (ﺍﻟﺸﻤﺴﻴﻪ) yang artinya adalah matahari. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini tidak dibacakan melainkan dileburkan kepada huruf setelahnya.
E. Hukum idgham
Idgham (ﺇﺩﻏﺎﻡ) adalah berpadu atau bercampur antara dua huruf atau memasukkan satu huruf ke dalam huruf yang lain. Maka dari itu, bacaan idgham harus dilafazkan dengan cara meleburkan suatu huruf kepada huruf setelahnya. Terdapat tiga jenis idgham:
- Idgham mutamathilain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﻤﺎﺛﻠﻴﻦ – yang serupa) ialah pertemuan antara dua huruf yang sama sifat dan makhrajnya (tempat keluarnya) dal bertemu dal dan sebagainya. Hukum adalah wajib diidghamkan. Contoh: ﻗَﺪ ﺩَﺨَﻠُﻮاْ.
- Idgham mutaqaribain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﻴﻦ – yang hampir) ialah pertemuan dua huruf yang sifat dan makhrajnya hampir sama, seperti ba’ bertemu mim, qaf bertemu kaf dan tha’ bertemu dzal. Contoh: ﻧَﺨْﻠُﻘڪُﻢْ
- Idgham mutajanisain (ﺇﺩﻏﺎﻡ ﻣﺘﺠﺎﻧﺴﻴﻦ – yang sejenis) ialah pertemuan antara dua huruf yang sama makhrajnya tetapi tidak sama sifatnya seperti ta’ dan tha, lam dan ra’ serta dzal dan zha. Contoh: ﻗُﻞ ﺭَﺏ
F. Hukum mad
Mad yang artinya yaitu melanjutkan atau melebihkan. Dari segi istilah Ulama tajwid dan ahli bacaan, mad bermakna memanjangkan suara dengan lanjutan menurut kedudukan salah satu dari huruf mad. Terdapat dua bagian mad, yaitu mad asli dan mad far’i. Terdapat tiga huruf mad yaitu alif, wau, dan ya’ dan huruf tersebut haruslah berbaris mati atau saktah. Panjang pendeknya bacaan mad diukur dengan menggunakan harakat.
G. Hukum ra’
Hukum ra’ adalah hukum bagaimana membunyikan huruf ra’ dalam bacaan. Terdapat tiga cara yaitu kasar atau tebal, halus atau tipis, atau harus dikasarkan dan ditipiskan.
* Bacaan ra’ harus dikasarkan apabila:
1. Setiap ra’ yang berharakat atas atau fathah.
Contoh: ﺭَﺑﱢﻨَﺎ
2. Setiap ra’ yang berbaris mati atau berharakat sukun dan huruf sebelumnya berbaris atas atau fathah.
Contoh: ﻭَﺍﻻَﺭْﺽ
3. Ra’ berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah atau kasrah.
Contoh: ٱﺭْﺟِﻌُﻮْﺍ
4. Ra’ berbaris mati dan sebelumnya huruf yang berbaris bawah atau kasrah tetapi ra’ tadi berjumpa dengan huruf isti’la’.
Contoh: ﻣِﺮْﺻَﺎﺪ
* Bacaan ra’ yang ditipiskan adalah apabila:
1. Setiap ra’ yang berbaris bawah atau kasrah.
Contoh: ﺭِﺟَﺎﻝٌ
2. Setiap ra’ yang sebelumnya terdapat mad lain
Contoh: ﺧَﻴْﺮٌ
3. Ra’ mati yang sebelumnya juga huruf berbaris bawah atau kasrah tetapi tidak berjumpa dengan huruf isti’la’.
Contoh: ﻓِﺮْﻋَﻮﻦَ
* Bacaan ra’ yang harus dikasarkan dan ditipiskan adalah apabila setiap ra’ yang berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah dan kemudian berjumpa dengan salah satu huruf isti’la’.
Contoh: ﻓِﺮْﻕ
Isti’la’ (ﺍﺳﺘﻌﻼ ﺀ): terdapat tujuh huruf yaitu kha’ (خ), sod (ص), dhad (ض), tha (ط), qaf (ق), dan zha (ظ).

H. Qalqalah
Qalqalah (ﻗﻠﻘﻠﻪ) adalah bacaan pada huruf-huruf qalqalah dengan bunyi seakan-akan berdetik atau memantul. Huruf qalqalah ada lima yaitu qaf (ق), tha (ط), ba’ (ب), jim (ج), dan dal (د). Qalqalah terbagi menjadi dua jenis:
- Qalqalah kecil yaitu apabila salah satu daripada huruf qalqalah itu berbaris mati dan baris matinya adalah asli karena harakat sukun dan bukan karena waqaf.
Contoh: ﻴَﻄْﻤَﻌُﻮﻥَ, ﻴَﺪْﻋُﻮﻥَ
- Qalqalah besar yaitu apabila salah satu daripada huruf qalqalah itu dimatikan karena waqaf atau berhenti. Dalam keadaan ini, qalqalah dilakukan apabila bacaan diwaqafkan tetapi tidak diqalqalahkan apabila bacaan diteruskan.
Contoh: ٱﻟْﻔَﻟَﻖِ, ﻋَﻟَﻖٍ
I. Waqaf (وقف)
Waqaf dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut istilah tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di akhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali bacaan. Terdapat empat jenis waqaf yaitu:
- ﺗﺂﻡّ (taamm) – waqaf sempurna – yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan yang dibaca secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, dan tidak mempengaruhi arti dan makna dari bacaan karena tidak memiliki kaitan dengan bacaan atau ayat yang sebelumnya maupun yang sesudahnya
- ﻛﺎﻒ (kaaf) – waqaf memadai – yaitu mewaqafkan atau memberhentikan pada suatu bacaan secara sempurna, tidak memutuskan di tengah-tengah ayat atau bacaan, namun ayat tersebut masih berkaitan makna dan arti dari ayat sesudahnya
- ﺣﺴﻦ (Hasan) – waqaf baik – yaitu mewaqafkan bacaan atau ayat tanpa mempengaruhi makna atau arti, namun bacaan tersebut masih berkaitan dengan bacaan sesudahnya
- ﻗﺒﻴﺢ (Qabiih) – waqaf buruk – yaitu mewaqafkan atau memberhentikan bacaan secara tidak sempurna atau memberhentikan bacaan di tengah-tengah ayat, wakaf ini harus dihindari karena bacaan yang diwaqafkan masih berkaitan lafaz dan maknanya dengan bacaan yang lain.

Tanda-tanda waqaf lainnya :
·          Tanda mim ( مـ ) disebut juga dengan Waqaf Lazim. yaitu berhenti di akhir kalimat sempurna. Wakaf Lazim disebut juga Wakaf Taamm (sempurna) karena wakaf terjadi setelah kalimat sempurna dan tidak ada kaitan lagi dengan kalimat sesudahnya. Tanda mim ( م ), memiliki kemiripan dengan tanda tajwid iqlab, namun sangat jauh berbeda dengan fungsi dan maksudnya;

·          2. tanda tho ( ﻁ ) adalah tanda Waqaf Mutlaq dan haruslah berhenti.


·          3.tanda jim ( ﺝ ) adalah Waqaf Jaiz. Lebih baik berhenti seketika di sini walaupun diperbolehkan juga untuk tidak berhenti.

·          4. tanda zha ( ﻇ ) bermaksud lebih baik tidak berhenti

·          5. tanda sad ( ﺹ ) disebut juga dengan Waqaf Murakhkhas, menunjukkan bahwa lebih baik untuk tidak berhenti namun diperbolehkan berhenti saat darurat tanpa mengubah makna. Perbedaan antara hukum tanda zha dan sad adalah pada fungsinya, dalam kata lain lebih diperbolehkan berhenti pada waqaf sad

·          6. tanda sad-lam-ya’ ( ﺻﻠﮯ ) merupakan singkatan dari “Al-washl Awlaa” yang bermakna “wasal atau meneruskan bacaan adalah lebih baik”, maka dari itu meneruskan bacaan tanpa mewaqafkannya adalah lebih baik;


·          7. tanda qaf ( ﻕ ) merupakan singkatan dari “Qiila alayhil waqf” yang bermakna “telah dinyatakan boleh berhenti pada wakaf sebelumnya”, maka dari itu lebih baik meneruskan bacaan walaupun boleh diwaqafkan

·          8. tanda sad-lam ( ﺼﻞ ) merupakan singkatan dari “Qad yuushalu” yang bermakna “kadang kala boleh diwasalkan”, maka dari itu lebih baik berhenti walau kadang kala boleh diwasalkan


·          9. tanda Qif ( ﻗﻴﻒ ) bermaksud berhenti! yakni lebih diutamakan untuk berhenti. Tanda tersebut biasanya muncul pada kalimat yang biasanya pembaca akan meneruskannya tanpa berhenti

·          10. tanda sin ( س ) atau tanda Saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ) menandakan berhenti seketika tanpa mengambil napas. Dengan kata lain, pembaca haruslah berhenti seketika tanpa mengambil napas baru untuk meneruskan bacaan
·          11. tanda Waqfah ( ﻭﻗﻔﻪ ) bermaksud sama seperti waqaf saktah ( ﺳﮑﺘﻪ ), namun harus berhenti lebih lama tanpa mengambil napas

·          12. tanda Laa ( ﻻ ) bermaksud “Jangan berhenti!”. Tanda ini muncul kadang-kala pada penghujung maupun pertengahan ayat. Jika ia muncul di pertengahan ayat, maka tidak dibenarkan untuk berhenti dan jika berada di penghujung ayat, pembaca tersebut boleh berhenti atau tidak

·          13. tanda kaf ( ﻙ ) merupakan singkatan dari “Kadzaalik” yang bermakna “serupa”. Dengan kata lain, makna dari waqaf ini serupa dengan waqaf yang sebelumnya muncul

·          14. tanda bertitik tiga ( … …) yang disebut sebagai Waqaf Muraqabah atau Waqaf Ta’anuq (Terikat). Waqaf ini akan muncul sebanyak dua kali di mana-mana saja dan cara membacanya adalah harus berhenti di salah satu tanda tersebut. Jika sudah berhenti pada tanda pertama, tidak perlu berhenti pada tanda kedua dan sebaliknya.


Sebenarnya masih banyak hukum bacaan dan tanda bacaan dalam Al-Quran bila dipelajari memerlukan waktu pemahaman yang cukup lama agar fasih dan benar dalam membaca, melafazkan dan pengucapan harakat (panjang-pendeknya suatu bacaan), tajwid lainnya yang harus dipelajari dan dipahami. Lebih baik lagi apabila mempelajari kitab Iqro (kitab kecil ).
Belajar Membaca Al-Quran Cara Cepat Belajar Membaca Al Quran, Memahami Bahasa Al-Qur’an Dan Menerjemahkan Al-Qur’an