BAGI WARIS
DAFTAR ISI
1
DEFINISI
2
LEGALITAS ILMU FAROIDH
3
KEUTAMAAN ILMU FAROIDH
4
PENINGGALAN (TIRKAH)
5
HAK-HAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
6 RUKUN
WARIS
7
SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH WARISAN
8
SYARAT-SYARAT PEWARISAN
9 PENGHALANG-PENGHALANG
PEWARISAN
10 ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA WARISAN
11 ASHHAABUL FURUUDH
11.1 AYAH
11.2 KAKEK YANG SHAHIH
11.3 SAUDARA SEIBU
11.4 SAUDARA LAKI-LAKI/PEREMPUAN SEIBU (KALALAH)
11.5 SUAMI
11.6 ISTERI
11.7 ANAK PEREMPUAN YANG SHULBIYAH
11.8 SAUDARA PEREMPUAN SEKANDUNG
11.9 SAUDARA-SAUDARA PEREMPUAN SEAYAH
11.10 ANAK-ANAK PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI
11.11 IBU
11.12 NENEK
12 'ASHOBAH
12.1 DEFINISI
12.2 PEMBAGIAN 'ASHOBAH
12.3 'ASHOBAH NASABIYAH
12.4 'ASHOBAH BINAFSIH
12.5 'ASHOBAH BIGHOIRIH
12.6 'ASHOBAH MA'AGHOIRIH
12.7 CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
12.8 'ASHOBAH SABABIYAH
13 HAJBU DAN HIRMAN
13.1 DEFINISI
13.2 PEMBAGIAN HAJBU
13.3 PERBEDAAN ANTARA MAHRUM DAN MAHJUUB
14 'AUL
14.1 DEFINISI
14.2 CONTOH-CONTOH MASALAH 'AUL
14.3 CARA PEMECAHAN MASALAH-MASALAH 'AUL
15 RODD
15.1 DEFINISI
15.2 RUKUNNYA
15.3 PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG RADD
15.4 CARA MEMECAHKAN MASALAH-MASALAH RADD
16 KANDUNGAN (HAMLU)
16.1 HUKUMNYA DALAM PEWARISAN
16.2 KANDUNGAN YANG LAHIR DARI PERUT IBU
16.3 KANDUNGAN YANG BERADA DALAM PERUT IBU
16.4 BATAS WAKTU MAKSIMAL DAN MINIMAL BAGI
KANDUNGAN
----------------------------------------------------------------
FAROIDH
1. DEFINISI
Faroidh adalah
jamak dari faridhoh. Faridhoh diambil dari kata fardh yang
artinya taqdir
(ketentuan).
Fardh secara
syar'ie adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.
Ilmu mengenai hal
itu dinamakan ilmu waris ('ilmu miirats) dan ilmu Faroidh.
Dari Penyusun:
Kondisi di
Indonesia masih banyak kaum muslimin yang menyepelekan hukum
waris. Sebelum
meninggal, membuat wasiat yang berisi pembagian waris yang
mendurhakai hukum
Allah, seperti: tanah barat untuk si A, Rumah di jalan anu
untuk si B,
padahal si A dan si B adalah ahli waris yang seharusnya dibagi
menurut hukum
waris yang telah ditentukan Allah SWT.
Padahal secara tegas dalam surat An-Nisaa'
ayat 14 yang merupakan
rangkaian dari
ayat-ayat waris mengancam orang yang menyepelekan hukum Allah
dengan api neraka
selama-lamanya:
" ""Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-"
ketentuannya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka sedang ia
" kekal didalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan."""
2. LEGALITAS ILMU
FAROIDH
Orang-orang Arab sebelum Islam hanya
memberikan warisan kepada kaum lelaki
saja sedang kaum
perempuan tidak mendapatkannya, dan warisan hanya untuk
mereka yang sudah
dewasa, anak-anak tidak mendapatkannya pula. Disamping itu
ada juga
waris-mewaris yang didasarkan pada perjanjian. Maka Allah membatal-
kan itu semua dan
menurunkan firman-Nya:
" Allah mensyari'atkan bagimu tentang
pembagian pusaka untuk anak-anakkmu."
Yaitu bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perem-
" puan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari satu, maka bagi mereka "
" duapertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang"
saja maka dia memperoleh separuh harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapak bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang
" meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai"
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat
" sepertiga; jika orang yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka"
ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa yang
lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (S. An-Nisa : 11)
(Asbabun-Nuzul
ayat di atas tidak kami sertakan).
3. KEUTAMAAN ILMU
FAROIDH
"Dari Ibnu
Mas'ud, dia berkata: Telah bersabda Rosululloh saw:
""Pelajarilah"
Al-Qur'an dan
ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah
kepada manusia.
Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan
diangkat. Hampir
saja dua orang berselisih tentang pembagian warisan dan
"masalahnya
tidak menemukan sseorang yang memberitahukannya kepada
keduanya"""
(HR Ahmad).
"Dari
'Abdulloh bin 'Amr, bahwa Rosululloh saw bersabda: ""Ilmu itu ada
tiga"
macam, dan selain
dari yang tiga itu adalah tambahan. (Yang tiga itu ialah)
"ayat yang
jelas, sunnah yang datang dari nabi, dan faroidhlah yang
adil""."
(HR Abu Dawud dan
Ibnu Majah).
"Dari Abu
Hurairoh, bahwa Nabi saw bersabda: ""Pelajarilah Faroidh dan"
ajarkanlah kepada
manusia, karena Faroidh adalah separuh dari ilmu dan akan
"dilupakan.
Faroidhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku""."
(HR Ibnu Majah
dan Ad-Daroquthni).
4. PENINGGALAN
(TIRKAH)
Peninggalan
(tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang
mati) secara
mutlak. Yang demikian itu ditetapkan oleh Ibnu Hazm, katanya:
Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan warisan kepada harta, bukan yang lain,
yang ditinggalkan
oleh manusia sesudah dia mati. Adapun hak-hak, maka ia tidak
diwariskan
kecuali yang mengikuti harta atau dalam pengertian harta, misalnya
hak pakai, hak penghormatan,
hak tinggal di tanah yang dimonopoli untuk
bangunan dan
tanaman. Menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, peninggalan
si mayit, baik
hak harta benda maupun hak bukan harta benda.
5. HAK-HAK YANG
BERHUBUNGAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
Hak-hak yang
berhubungan dengan harta peninggalan itu ada empat. Keempatnya
tidak sama
kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain
sehingga ia
didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan.
Hak-hak tersebut
menurut tertib berikut :
#NAME?
masalah jenazah
- Melunasi
hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang kepada
Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang
kepada manusia.
Orang-orang Hanafi menggugurkan hutang kepada
Allah dengan adanya kematian.
Dengan demikian maka hutang kepada Allah itu
tidak wajib dibayar oleh ahli
waris kecuali apabila mereka secara sukarela
membayarnya, atau diwasiatkan
oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan
diwasiatkannya hutang, maka hutang itu
menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang
dikeluarkan oleh ahli waris
atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa
setelah perawatan mayat dan
hutang kepada manusia. Ini bila dia mempunyai
ahli waris. Apabila dia tidak
mempunyai ahli waris, maka wasiat hutang itu
dikeluarkan dari seluruh harta.
Orang-orang Hambali mempersamakan antara
hutang kepada Allah dengan hutang
kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat
bahwa hutang hamba yang bersifat
'aini (hutang yang berhubungan dengan harta
peninggalan) itu didahulukan atas
hutang muthlak.
#NAME?
#NAME?
6. RUKUN WARIS
Ada tiga hal :
a. Pewaris
(al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan
dengan mayit sehingga dia memperoleh
kewarisan.
b.Orang yang
mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata
maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti
orang yang hilang dan
dinyatakan mati.
c.Harta yang
diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan.
Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari
yang mewariskan kepada pewaris.
7. SEBAB-SEBAB
MEMPEROLEH WARISAN
Ada tiga sebab :
a. Nasab Hakiki
(kerabat yang sebenarnya), firman Allah SWT:
" ""Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak ter-"
hadap sesamanya daripada yang bukan kerabat
di dalam Kitab Allah (S.8 : 75)
b. Nasab Hukumi
(wala = kerabat karena memerdekakan), sabada Rosululloh saw:
"Wala itu adalah kerabat seperti
kekerabatan karena nasab"" (HR Ibnu Hibban"
dan Al-Hakim dan dia menshahihkan pula).
c. Perkawinan
yang Shahih, firman Allah SWT:
Dan bagimu seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu.
(An-Nisaa' ayat 12)
8. SYARAT-SYARAT
PEWARISAN
Ada tiga syarat :
a. Kematian orang
yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian
secara hukum, misalnya seorang hakim
memutuskan kematian seseorang yang
hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang
yang hilang sebagai orang yang
mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan
seperti seseoran memukul
" seorang perempuan yang hamil sehingga
janinnya gugur dalam keadaan mati; "
maka janin yang gugur itu dianggap hidup
sekalipun hidupnya itu belum nyata.
b. Pewaris itu
hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu
secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan
secara hukum dianggap hidup,
karena mungkin ruhnya belum ditiupkan.
Apabila tidak diketahui bahwa pewaris
itu hidup sesudah orang yang mewariskan
mati, seperti karena tenggelam atau
" terbakar atau tertimbun; maka di antara
mereka itu tidak ada waris mewarisi"
jika mereka itu termasuk orang-orang yang
saling mewaris. Dan harta masing-
masing mereka itu dibagikan kepada ahli
waris yang masih hidup.
c. Bila tidak ada
penghalang yang menghalangi pewarisan.
9.
PENGHALANG-PENGHALANG PEWARISAN
Yang terhalang untuk mendapatkan warisan
adalah orang yang memenuhi sebab-
sebab untuk
memperoleh warisan, akan tetapi dia kehilangan hak untuk memperoleh
warisan. Orang
yang demikian dinamakan MAHRUM. Penghalang itu ada empat:
a. Perbudakan:
Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
b. Pembunuhan
dengan sengaja yang diharamkan.
Apabila pewaris membunuh orang yang
mewariskan dengan cara zhalim, maka dia
tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw
bersabda :
"Orang yang membunuh itu tidak
mendapatkan warisan sedikitpun""."
Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka
para ulama berbeda pendapat di
dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap
pembunuhan menghalangi pewarisan,
sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh anak
kecil atau orang gila, dan
sekalipun dengan cara yang benar seperti had
atau qishash. Mazhab Maliki
berkata: Sesungguhnya pembunuhan yang
menghalangi pewarisan itu adalah
pembunuhan yang sengaja bermusuhan, baik
langsung ataupun mengalam
perantaraan. Undang-undang Warisan Mesir
mengambil pendapat ini dalam pasal
lima belas, yang bunyinya :
"Di antara penyebab yang
menghalangi pewarisan ialah membunuh orang yang "
mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu
pelaku utama, serikat, ataupun
saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan
hukum bunuh dan pelaksanaannya
bagi orang yang mewariskan, jika pembunuhan
itu pembunuhan yang tidak benar
" atau tidak beralasan; sedang pembunuh itu
orang yang berakal dan sudah ber-"
" umur lima belas tahun; kecuali kalau dia
melakukan hak membela diri yang sah."
c. Berlainan
Agama
Dengan demikian seorang muslim tidak
mewarisi dari orang kafir, dan seorang
" kafir tidak mewarisi dari seorang muslim;
karena hadits yang diriwayatkan"
oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah
bin Zaid, bahwa Nabi saw bersabda:
" ""Seorang muslim tidak mewarisi
dari seorang kafir, seorang kafirpun tidak "
" mewarisi dari seorang
muslim"".Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul "
Musayyab, Masruq dan An-Nakha'i, bahwa
sesungguhnya seorang muslim itu
" mewarisi dari seorang kafir; dan tidak
sebalinya. Yang demikian itu seperti"
halnya seorang muslim laki-laki boleh
menikah dengan seorang kafir perempuan
dan seorang kafir laki-laki tidak boleh
menikah dengan seorang muslim perem-
puan.
Adapun orang-orang yang bukan muslim, maka
sebagian mereka mewarisi sebagian
yang lain, karena mereka dianggap satu
agama.
d. Berbeda Negara
(Tidak menghalangi)
Yang dimaksud berbeda negara adalah berbeda
kebangsaannya. Perbedaan kebang-
saan ini tidak menghalangi pewarisan di
antara kalangan kaum muslimin, karena
seorang muslim itu mewarisi dari seorang
muslim, sekalipun jauh negaranya dan
berbeda wilayahnya.
10. ORANG-ORANG
YANG BERHAK MENERIMA WARISAN
Orang-orang yang berhak menerima warisan,
menurut mazhab Hanafi, tersusun
sebagai berikut :
1 Ashhaabul
Furuudh
2 'Ashabah
Nasabiyah
3 'Ashabah
Sababiyah
4 Rodd kepada
Ashhaabul Furuudh
5 Dzawul Arhaam
6 Maulal Muwaalah
7 Orang yang
diakukan nasabnya kepada orang lain
8 Orang yang
menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan
9 Baitul Maal
Adapun urutan orang-orang yang berhak
menerima warisan menurut kitab Undang-
undang warisan
yang berlaku di Mesir adalah sebagai berikut:
1 Ashhaabul Furuudh
2 'Ashabah
Nasabiyah
3 Rodd kepada
Ashhaabul Furuudh
4 Dzawul Arhaam
5 Rodd kepada
salah seorang suami-isteri
6 'Ashabah
Sababiyah
7 Orang yang
diakukan nasabnya kepada orang lain
8 Orang yang
menerima wasiat semua harta peninggalan
9 Baitul Maal
11. ASHHAABUL
FURUUDH
Ashhaabul Furuudh adalah mereka yang
mempunyai bagian dari keenam bagian
yang ditentukan
bagi mereka, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6.
Ashhaabul Furuudh ada dua belas orang:
empat laki-laki, yaitu ayah, kakek
yang sah dan
seterusnya ke atas, saudara laki-laki seinu, dan suami. Dan
delapan
perempuan, yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan sekandung,
saudara perempuan
seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak
laki-laki, ibu,
dan nenek serta seterusnya sampai ke atas. Berikut ini akan di-
jelaskan bagian
dari masing-masing secara terperinci:
11.1. AYAH
Berfirman Allah SWT:
"Dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya
mendapat
sepertiga."
Ayah itu mempunyai tiga ketentuan: mewarisi
dengan jalan fardh, mewarisi
dengan jalan
'ashabah, dan mewarisi dengan jalan fardh dan 'ashabah secara ber-
barengan.
- Dengan jalan
Fardh:
Ayah mewarisi dengan jalan fardh apabila
dia bersama dengan keturunan
(far'un) lelaki
satu atau dengan yang lainnya (perempuan). Dalam keadaan
demikian, maka
bagian ayah adalah seperenam.
- Dengan jalan
'ashabah:
Ayah mewarisi dengan jalan 'ashobah, jika
mayit tidak mempunyai keturunan
(far'un) yang
mewarisi, baik laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian, maka
ayah mengambil
semua peninggalan bila ia sendirian, atau sisa dari Ashhaabul
Furuudh bila dia
bersama dengan salah seorang di antara mereka.
- Dengan jalan
fardh dan 'ashobah
Yang demikian terjadi bila dia bersama
dengan keturunan perempuan yang
mewarisi. Dalam
keadaan yang demikian, ayah mengambil seperenam sebagai fardh,
kemudian
mengambil sisa dari Ashhaabul Furuudh sebagai 'ashobah.
11.2. KAKEK YANG
SHAHIH
Kakek ada yang shahih dan ada yang fasid.
Kakek yang shahih ialah kakek yang
nasabnya dengan
mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ayah.
Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya
dengan si mayit diselingi oleh
perempuan,
misalnya ayah dari ibu Kakek yang shahih mendapatkan waris menurut
ijma'.
"Dari 'Imran
bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Rosululloh
saw, lalu
katanya: Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku telah mati,
berapakah aku
mendapatkan warisannya? Beliau menjawab: Engkau mendapatkan "
"seperenam.""
Ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata: "
Engkau
mendapatkan seperenam. Dan ketika orang itu hendak pergi, maka Beliau
"memanggilnya
dan berkata: ""Engkau mendapat seperenam lainnya."" Ketika
orang itu"
"hendak
pergi, Beliau memanggilnya dan berkata: ""Sesungguhnya seperenam yang
lain"
"itu adalah
tambahan."" (HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dan dia
menshahihkan"
pula).
" Hak waris kakek yang shahih itu gugur
dengan adanya ayah; dan bila ayah "
tidak ada, maka
kakek shahih yang menggantikannya, kecuali dalam empat masalah:
1 Ibu dari ayah
itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu gugur
dengan adanya ayah dan mewarisi bersama
kakek.
2 Apabila si
mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri, maka
ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta
sesudah bagian salah seorang dari
suami-isteri. Adapun bila kakek menggantikan
ayah, maka ibu mendapatkan
sepertiga dari semua harta. Masalah ini
dinamakan masalah 'Umariyah, karena
masalah ini diputuskan oleh 'Umar. Masalah
ini juga dinamakan gharraaiyyah
karena terkenalnya bagai bintang pagi. Akan
tetapi Ibnu 'Abbas menentang hal
" itu, dan katanya: ""Sesungguhnya
ibu mendapatkan sepertiga dari keseluruhan"
" harta ; karena firman Allah : 'dan bagi
ibunya itu sepertiga'""."
3 Bila ayah
didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara laki-laki perempuan
sekandung, dan saudara-saudara laki-laki
serta saudara-saudara perempuan
sebapak. Adapun kakek, maka mereka tidak
terhalang olehnya. Ini adalah mazhab
Asy-Syafi'i, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik.
Sedang Abu Hanifah berpendapat
bahwa kakek menghalangi sebagaimana ayah
menghalangi mereka, tidak ada perbe-
daan antara kakek dan ayah. Undang-undang
Warisan Mesir telah mengambil
pendapat yang pertama, dimana dalam pasal 22
terdapat ketentuan berikut:
"Apabila kakek berkumpul dengan
saudara-saudara lelaki dan saudara-saudara "
perempuan seibu-sebapak, atau saudara-saudara
lelaki dan saudara-saudara
perempuan seayah, maka bagi kakek ini ada dua
ketentuan:
Pertama: Dia berbagi sama rata dengan
merekan, seperti seorang saudara laki-
laki jika mereka itu laki-laki saja,
atau laki-laki dan perempuan,
atau perempuan-perempuan yang
digolongkan (di'ashobahkan) dengan
keturunan perempuan.
Kedua
: Dia mengambil sisa setelah Ashhaabul Furuudh dengan cara ta'shib,
bila dia bersama dengan
saudara-saudara perempuan yang di'ashobahkan
oleh saudara-saudara lelaki, atau
di'ashobahkan oleh keturunan
perempuan menurut furudh atau
pewarisan dengan jalan ta'shib menurut
ketentuan yang telah dikemukakan itu
manjauhkan kakek dari pewarisan
atau mengurangi bagiannya dari
seperenam, maka dia dianggap pemilik
dari bagian seperenam. Dan tidak dianggap dalam pembagian masalah
kakek ini, orang yang terhalang dari
saudara-saudara lelaki atau
saudara-saudara perempuan sebapak
(yang diprioritaskan dalam masalah
ini adalah hanya kakek saja, red).
11.4. SAUDARA
LAKI-LAKI/PEREMPUAN SEIBU (KALALAH)
Berfirman Allah SWT:
"Jika
seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak
memeninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua
jenis saudara iru seperenam harta. Akan tetapi jika saudara-
saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu (Surat
An-Nisaa ayat 12)."
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai
ayah dan tidak mempunyai anak,
baik laki-laki
maupun perempuan. Dan yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara
perempuan dalam
ayat ini ialah saudara-saudara seibu. Dari ayat di atas jelaslah
bahwa bagi mereka
ada tiga ketentuan:
1 Bahwa seperenam
itu untuk satu orang, baik laki-laki maupun perempuan.
2 Bahwa sepertiga
itu untuk dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
3 Mereka tidak
mewarisi sesuatu bersama-sama dengan keturunan yang mewarisi,
seperti anak laki-laki dan anak dari anak
laki-laki, dan tidak pula mewarisi
bersama dengan ashal (pokok yang menurunkan)
yang laki-laki lagi mewarisi,
seperti ayah dan kakek. Maka mereka ini tidak
terhalang dengan adanya ibu atau
nenek.
11.5. SUAMI
Allah SWT berfirman :
"Dan magimu
(para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan mereka "
(An-Nisaa : 12)
Ayat ini menyebutkan bahwa bagi suami ada
dua ketentuan:
Ketentuan
pertama:
Dia mendapatkan warisan separuh, jika tidak
ada keturunan yang mewarisi,
yaitu anak
laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak perempuan, dan anak perempuan
dari anak
laki-laki sekalipun anak perempuan itu diturunkan oleh anak laki-laki,
baik keturunan
itu dari dirinya ataupun dari orang lain.
Ketentuan
Kedua :
Dia mendapatkan warisan seperempat jika ada
keturunan yang mewarisi. Adapun
keturunan yang
tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak perempuan, maka
dia tidak
mengurangi bagian suami atau isteri.
11.6. ISTERI
Allah SWT berfirman :
"Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan (An-Nisaa' : 12)."
Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi
isteri itu ada dua ketentuan :
Ketentuan
Pertama:
Hak memperoleh bagian seperempat bagi
isteri terjadi bila tidak ada
keturunan yang
mewarisi, baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang
lain.
Ketentuan
Kedua :
Hak memperoleh bagian seperdelapan terjadi
bila ada keturunan yang mewarisi.
Apabila isteri
itu berbilang, maka bagi mereka berbagi rata dari seperempat atau
seperdelapan
bagian.
ISTERI YANG DICERAI
Isteri yang ditalak (diceraikan) dengan
talak raj'ie itu mewarisi dari
suaminya apabila
suami mati sebelum habis masa iddahnya. Orang-orang Hambali
berpendapat bahwa
isteri yang ditalak sebelum dicampuri oleh suami yang
mentalaknya di
waktu sakit yang menyebabkan kematian, kalau suami mati karena
sakit, sedang
isteri belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan.
Demikian pula
bila isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang
mentalaknya,
selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa 'iddah karena
kematian suami.
Undang-undang yang baru menganggap bahwa
isteri yang ditalak bain dalam
keadaan suami
sakit yang menyebabkan kematian, maka dia dihukum sebagai isteri,
jika dia tidak
rela ditalak dan suami yang mentalak mati karena penyakit, sedang
dia masih berada
dalam masa 'iddahnya.
11.7. ANAK
PEREMPUAN YANG SHULBIYAH
Allah SWT berfirman :
"Allah
mensyari'atkan bagimu tentang pembagian harta pusaka untuk anak-anakmu.
Yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan; dan
jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka duapertiga
dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia
memperoleh
seperdua harta (An-Nisaa' 12)."
Ayat di atas menunjukkan bahwa anak
perempuan yang shulbiyah mempunyai tiga
ketentuan:
Ketentuan
Pertama:
Dia mendapatkan bagian seperdua, apabila
anak perempuan itu hanya seorang
diri.
Ketentuan
Kedua :
Bagian duapertiga untuk dua orang anak
perempuan atau lebih, bila tidak ada
seorang anak
laki-laki atau lebih. Berkata Ibnu Qudamah: Ahli ilmu telah sepakat
bahwa fardh
(bagian) dari dua orang anak perempuan adalah duapertiga, kecuali
satu riwayat
syadz dari Ibnu 'Abbas. Berkata Ibnu Rusyd: Telah dikatakan bahwa
pendapat yang
masyhur dari Ibnu 'Abbas itu seperti pendapat jumhur.
Ketentuan Ketiga
:
Mewaris secata ta'shib. Bila dia disertai
oleh seorang anak laki-laki atau
"lebih
banyak, maka cara memperoleh warisannya dengan jalan ta'shib; di dalam "
ta'shib bagian
seorang laki-laki dua kali bagian seorang perempuan. Denikian
pula bila yang
laki-laki dan perempuan itu kedua-duannya banyak.
11.8. HAL-IHWAL
SAUDARA PEREMPUAN SEKANDUNG
Allah SWT berfirman:
Mereka meminta
fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi
fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan dia
tidak mempunyai
anak dan mepunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara yang laki-
laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai
"anak; akan
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang; maka bagi keduanya dua"
pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
"seorang
saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan"" (An-Nisa
176)."
Rosululloh saw
bersabda :
Jadikanlah
saudara-saudara perempuan dan anak-anak perempuan itu satu 'ashobah
Bagi saudara perempuan sekandung ada lima
ketentuan :
1. Separuh bagi
seorang saudara perempuan sekandung bila dia tidak disertai anak
laki-laki, anak laki-laki dari anak
laki-laki, ayah, kakek, dan saudara laki-
laki sekandung.
2.Dua pertiga bagi
dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih bila tidak
ada laki-laki.
3 Apabila
saudara-saudara perempuan itu hanya disertai oleh saudara laki-laki
sekandung dan orang-orang yang telah
dikemukakan di atas tidak ada, maka
"saudara-saudara perempuan sekandung itu
di'ashobahkan; sehingga bagian dari"
seorang laki-laki adalah dua kali bagian
seorang perempuan.
4 Saudara-saudara
perempuan sekandung menjadi 'ashobah bersama dengan anak-anak
perempuan atau anak-anak perempuan dari
anak-anak laki-laki, sehingga mereka
mengambil sisa harta sesudah bagian anak-anak
perempuan atau anak-anak
perempuan dari anak-anak laki-laki.
5 Saudara-saudara
perempuan sekandung itu gugur dengan adanya keturunan laki-
laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki,
dan anak laki-laki dari anak laki-
laki, serta pokok (yang menurunkan) laki-laki
yang mewarisi, seperti ayah -
menurut kesepakatan - da kakek - menurut Abu
Hanifah -. Pendapat Abu Hanifah
" ini berbeda dengan pendapat Abu Yusuf dan
Muhammad; dan perbedaan itu telah "
dikemukakan pada pembicarann yang lalu.
11.9.
SAUDARA-SAUDARA PEREMPUAN SEAYAH
Bagi Rosululloh-Rosululloh perempuan seayah
ada enam ketentuan :
1. Separuh, bila
dia sendirian, tidak ada saudara perempuan seayah lainnya, tidak
ada saudara perempuan yang sekandung.
2. Dua pertiga,
untuk dua orang saudara perempuan seayah ataii lebih.
3. Seperenam, bila
dia hanya bersama dengan saudara perempuan yang sekandung,
sebagai penyempurnaan dua pertiga.
4. Mewarisi secara
ta'shib bersama orang lain, bila bersamanya (seorang atau
lebih) terdapat seorang anak perempuan atau
anak perempuan dari anak laki-
laki. Nereka mendapatkan sisa sesudah bagian
anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki.
5. Mereka gugur
dengan adanya orang-orang berikut :
a. Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi.
b. Saudara laki-laki sekandung.
c. Saudara perempuan sekandung, bila menjadi
'ashobah oleh sebab anak
perempuan atau anak perempuan dari anak
laki-laki, sebab saudara perempuan
sekandung dalam hal itu menduduki tempat
saudara laki-laki sekandung. Oleh
sebab itu maka dia didahulukan atas
saudara laki-laki seayah dan saudara
perempuan seayah, ketika dia menjadi
'ashobah oleh sebab orang lain.
d. Dua orang saudara perempuan sekandung,
kecuali bila bersama mereka terdapat
saudara lelaki seayah, maka mereka
di'ashobahkan, sehingga sisanya dibagi:
untuk laki-laki adalah duan bagian seorang
perempuan.
Apabila mayit meninggalkan dua orang
saudara perempuan sekandung, saudara-
saudara perempuan
seauayh dan seorang saudara laki-laki seayah, maka dua orang
saudara perempuan
sekandung itu mendapat duapertiga, dan sisanya dibagi antara
saudara-saudara
perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian:
bagian laki-laki
dua kali bagian perempuan.
11.10. ANAK-ANAK
PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI
Bagi anak-anak perempuan dari anak
laki-laki ada lima ketentuan:
1. Separuh, bila
anak perempuan dari anak laki-laki itu sendiri saja dan tidak
ada anak laki-laki shulbi.
2. Duaperiga bagi
dua orang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki, bila
tidak ada anak laki-laki shulbi.
3. Seperenam bagi
seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki bila ber-
"samanya terdapat anak perempuan shulbiyah
sebagai penyempurnaan duapertiga;"
kecuali bila bersama mereka terdapat seorang
anak laki-laki yang sederajat
"dengan mereka (cucu laki-laki), maka mereka
di'ashobahkan; dan sisanya sesudah "
bagian anak perempuan shulbiyah, dibagikan:
untuk lelaki dua bagian perempuan.
4. Mereka tidak
mewarisi bila ada anak laki-laki.
5. Mereka tidak
mewarisi bila ada dua orang anak perempuan sulbiyah atau lebih,
kecuali bila bersama didapatkan seorang anak
laki-laki dari anak laki-laki
yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki)
atau lebih rendah dari mereka,
maka mereka di'ashobahkan.
11.11. IBU
Allah SWT berfirman :
"Dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan,
jika yang meninggal mempunyai anak, jika yang meninggalkan itu
tidak mempunyai
anak, dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya
mendapapatkan
sepertiga. (An-Nisaa' ayat 10).
Bagi ibu itu ada tiga ketentuan :
1 Mendapatkan
seperenam, bila dia bersama dengan anak laki-laki atau seorang
anak laki-laki dari anak laki-laki, atau dua
orang saudara laki-laki atau
saudara perempuan secara muthlak, baik mereka
itu dari fihak ayah dan ibu,
fihak ayah saja ataupun fihak ibu saja.
2 Mendapat
sepertiga dari semua harta peninggalan, bila tidak didapatkan
seorangpun dari yang telah dikemukakan (dalam
no. 1).
3 Mengambil
sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang
suami-isteri. Yang demikian itu
terdapat dalam dua masalah yang dinamakan
gharraiyyah, yaitu :
Pertama: Bila si mayit meninggalkan suami dan
dua orang tua.
Kedua
: Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua.
11.12. NENEK
Allah SWT berfirman:
Dari Qubaishah
bin Dzuaib, dia berkata: Seorang nenek telah datang menghadap"
"Abu Bakr,
lalu dia menanyakan tentang warisannya. Abu Bakr menjawab: ""Engkau
"
tidak mempunyai
hak sedikitpun menurut Kitab Allah dan aku tidak tahu sedikitpun
berapa hakmu di
dalam sunnah Rosululloh saw. Maka pulanglah engkau sampai aku
"menanyakan
kepada seseorang"". Kemudian Abu Bakr menanyakan kepada para
shahabat."
"
Al-Mughiroh bin Syu'bah menjawab: ""Aku pernah menyaksikan Rosululloh
saw mem-"
"berikan
kepada nenek seperenam fardh"". Abu Bakr bertanya: ""Apakah
ada orang lain"
"bersamamu?""
Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-Anshori, mengatakan seperti"
apa yang
dikatakan Al-Mughiroh bin Syu'bah. Maka Abu Bakrpun memberikan
seperenam fardh
kepada si nenek. Berkata Qubaishah: Kemudian datanglah seorang
"nenek yang
lain kepada 'Umar, menanyakan warisannya. 'Umar menjawab: ""Engkau
"
tidak mempunyai
hak sedikitpun menurut kitab Allah, akan tetapi seperenam
itulah. Oleh
sebab itu, jika kamu berdua, maka seperenam itupun untuk kamu
berdua. Siapa
saja diantara kamu berdua yang sendirian, maka seperenam itu
"untuknya"".
(HR lima orang ahli hadits kecuali An-Nasai, dishahihkan At-Tirmidzi)"
Bagi nenek yang shahihah (=nenek yang
nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh
kakek yang fasid. Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya
dengan si mayit
diselingi oleh perempuan , seperti ayah dari ibu) ada tiga
ketentuan :
1 Seperenam bila
dia sendirian, dan bila lebih dari satu, maka berserikat di
dalam seperenam itu, dengan syarat sama
derajatnya seperti ibu dari ibu dan
ibu dari ayah.
2 Nenek yang
dekat dari jihat manapun menghalangi nenek yang jauh, seperti ibu
dari ibu (nenek) menghalangi ibu dari ibu
dari ibu (buyut) dan menghalangi
juga ibu dari ayah dari ayah.
3 Nenek
dari jihat manapun gugur dengan adanya ibu; dan nenek dari jihat ayah "
gugur dengan adanya ayah, akan tetapi adanya
ayah tidak menggugurkan nenek
dari fihak ibu. Kakek menghalangi ibunya
(buyut) sebab ibu kakek gugur haknya
karena adanya kakek.
12. 'ASHOBAH
12.1. DEFINISI
'Ashobah adalah jamak dari 'aashib, seperti
halnya tholabah adalah jamak
dari thoolib.
'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat seorang lelaki dari
fihak ayah.
Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara sebagian
mereka dengan
sebagian yang lain.
" Kata 'ashobah ini diambil dari ucapan
mereka: ""Ashobal qoumu bi fulaan"","
bila mereka
bersekutu dengan si fulan. Maka anak laki-laki adalah satu fihak
"dari
'ashobah, dan ayah adalah fihak lain; saudara laki-laki adalah satu segi "
dari 'ashobah sedangkan
paman (dari fihak ayah) adalah sisi yang lain.
Yang dimaksud dengan 'ashobah disini ialah
mereka yang mendapatkan sisa
sesudah Ashhaabul
Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka.
Apabila tidak ada
sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka
('ashobah) tidak
mendapatkan apa-apa, kecuali bila 'ashib itu seorang anak laki-
laki maka dia
tidak akan mendapatkan bagian, bagaimanapun keadaannya.
Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak
atas semua peninggalan bila tidak
didapatkan
seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits yang diriwayat-
kan oleh
Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:
"Berikanlah
bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang
berhak menurut
nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada 'ashobah laki-
laki yang
terdekat kepada si mayit."
"Dari Abu
Hurairoh ra, bahwa Nabi saw bersabda: ""Tidak ada bagi seorang
mukmin"
kecuali aku lebih
berhak atasnya dalam urusan dunia dan akhiratnya. Bacalah bila
"kamu suka:
""Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka
"
"sendiri.""
Oleh sebab itu, siapa saja orang mukmin yang mati dan meninggalkan"
harta, maka harta
itu diwariskan kepada 'ashobahnya, siapapun mereka itu adanya.
Dan barang siapa
ditinggali hutang atau beban keluarga oleh si mayit, maka
"hendaklah
dia datang kepadaku, karena akulah maulanya."""
12.2. PEMBAGIAN
'ASHOBAH
'Ashobah itu
dibagi menjadi dua bagian :
1 'Ashobah
Nasabiyah,
2 'Ashobah
Sababiyah.
12.3. 'ASHOBAH
NASABIYAH
'Ashobah
Nasabiyah ada tiga golongan :
1 'Ashobah
binafsih
2 'Ashobah
bighoirih
3 'Ashobah
ma'aghoirih.
12.4. 'ASHOBAH
BINAFSIH
'Ashobah binafsih ialah semua orang
laki-laki yang nasabnya dengan si mayit
tidak diselingi
oleh perempuan. 'Ashobah binafsih ada empat golongan:
1 Bunuwwah
(keanakan), dianamakan juz-ul mayyit.
2 Ubuwwah
(keayahan), dinamakan ashlul mayyit.
3 Ukhuwwah
(kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih.
4 Umumah
(kepamanan), dinamakan juz-ul jadd.
12.5. 'ASHOBAH
BIGHOIRIH
'Ashobah bighoirih adalah perempuan yang
bagiannya separuh dalam keadaan
sendirian, dan
duapertiga bila bersama dengan saudara perempuannya atau lebih.
Apabila bersama
perempuan atau perempuan-perempuan itu terdapat seorang saudara
laki-laki, maka
di saat itu mereka semuanya menjadi 'Ashobah dengan adanya
saudara laki-laki
tersebut. Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bighoirih
ada empat :
1 Seorang anak
perempuan atau anak-anak perempuan,
2 Seorang anak
perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki,
3 Seorang saudara
perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung,
4 Seorang saudara
perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah.
Setiap golongan dari keempat golongan ini
menjadi 'Ashobah bersama orang
lain, yaitu
saudara laki-laki. Pewarisan diantara mereka adalah laki-laki
mendapat dua
bagian perempuan.
Perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan
bagian (fardh) bila tidak ada
saudara
laki-lakinya yang 'ashib (menjadi 'ashobah) itu tidak menjadi 'ashobah
bighoirih di saat
adanya saudara laki-laki. Sebab seandainya seseorang itu mati
sedang dia
meninggalkan seorang paman atau bibi (dari fihak ayah), maka semua
hartanya itu
untuk paman, sedang bibi tidak mendapatkan dan tidak menjadi
"'ashobah
bersama saudara laki-lakinya; sebab bibi itu tidak mendapatkan bagian "
bila tidak
bersama saudara laki-lakinya. Demikian pula anak laki-laki dari
saudara laki-laki
bersama anak perempuan dari saudara lelaki.
12.6. 'ASHOBAH
MA'AGHOIRIH
'Ashobah ma'aghoirih ialah setiap perempuan
yang memerlukan perempuan lain
untuk menjadi
'Ashobah. 'Ashobah ma'aghoirih ini terbatas hanya pada dua
golongan dari
perempuan, yaitu :
1 Saudara
perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung bersama
dengan anak perempuan atau anak perempuan
dari anak laki-laki.
2 Saudara
perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan
" anak perempuan atau anak perempuan dari anak
laki-laki; mereka mendapatkan "
sisa peninggalan sesudah furudh.
12.7. CARA
PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
Pada fasal terdahulu telah dikemukakan cara
pewarisan untuk 'ashobah bi-
ghoirih dan
'ashobah ma'aghoirih. Adapun cara pewarisan 'ashobah binafsih, maka
akan kami
jelaskan sebagai berikut :
'Ashobah binafsih ada empat golongan, dan
mewarisi menurut tertib berikut:
1 Bunuwwah
meliputi anak-anak laki-laki dan anak
laki-laki dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah.
2 Bila jihat
bunuwwah tidak didapatkan, maka peninggalan atau sisanya itu ber-
pindah ke jihat ubuwwah yang meliputi ayah
dan kakek shahih seterusnya keatas.
3 Bila tidak ada
seorangpun dari jihat ubuwwah, maka peninggalan atau sisanya
berpindah ke ukhuwwah. Ukhuwwah ini meliputu
saudara-saudara laki-laki
sekandung, saudara-saudara laki-laki seayah,
anak laki-laki dari saudara
laki-laki sekandung, anak-anak laki-laki dari
saudara laki-laki seayah, dan
seterusnya ke bawah.
Note: Sekandung = seibu-seayah.
4 Bila tidak ada
seorang pun dari jihat ukhuwwah, maka peninggalan atau sisanya
berpindah ke jihat 'umumah tanpa ada
perbedaan antara 'umumah si mayit itu
" sendiri dengan 'umumah ayahnya atau 'umumah
kakeknya; hanya saja 'umumah si "
mayit didahulukan atas 'umumah ayahnya, dan
'umumah ayahnya didahulukan atas
'umumah kakeknya, dan begitu seterusnya.
Bila didapatkan sejumlah orang dari satu
tingkatan, maka yang paling berhak
untuk mendapatkan
warisan adalah mereka yang paling dekat kepada si mayit.
Bila terdapat sejumlah orang yang sama
hubungan nasabnya dengan si mayit
dari segi jihat
dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan warisan adalah
mereka yang
paling kuat hubungan kekerabatannya dengan si mayit.
Apabila mayit meninggalkan sejumlah orang
yang sama nasab mereka kepada
dirinya dari segi
jihat, derajat dan kekuatan, hubungan, maka mereka sama-sama
berhak untuk
mendapatkan warisan sesuai dengan kepala mereka.
" Inilah makna dari ucapan fuqoha:
""Sesungguhnya pendahuluan di dalam 'ashobah "
binafsih adalah
dengan jihat. Bila jihatnya sama, maka dengan derajat. Bila
derajatnya sama,
maka dengan kekuatan hubungan. Bila mereka sama dalam jihat,
derajat dan
kekuatan hubungan, maka mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan
warisan dan
peninggalan itu dibagi rata diantara mereka menurut jumlah mereka.
12.8. 'ASHOBAH
SABABIYAH
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang
memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan
tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.
13. HAJBU DAN
HIRMAN
13.1. DEFINISI
Hajbu menurut bahasa berarti man'u:
menghalangi, mencegah. Maksudnya adalah
terhalangnya
seseorang tertentu dari semua atau sebagian warisannya karena
adanya orang
lain.
Hirman ialah terhalangnya seseorang
tertentu dari warisannya karena terjadi
penghalang
pewarisan, seperti membunuh dan lain-lainnya.
13.2. PEMBAGIAN
HAJBU
Hajbu ada dua
macam :
1 Hajbu Nuqshoon,
2 Hajbu Hirman
Hajbu Nuqshon ialah berkurangnya warisan
salah seorang ahli waris karena
adanya orang
lain. Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima orang :
1 Suami terhalang
dari separuh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-laki.
2 Isteri
terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan di waktu ada anak lelaki
3 Ibu terhalang
dari sepertig menjadi seperenam di waktu ada keturunan yang
mewarisi.
4 Anak perempuan
dari anak laki-laki.
5 Saudara perempuan
seayah.
Adapun Hajbu Hirman adalah terhalangnya
semua warisan bagi seseorang karena
adanya orang
lain, seperti terhalangnya warisan bagi saudara laki-laki di waktu
adanya anak
laki-laki. Hajbu Hirman ini tidak termasuk ke dalam warisan dari
enam orang
pewaris, sekalipun mereka bisa terhalang oleh Hajbu nuqshon.
Mereka itu adalah
:
1 & 2 Kedua
orang tua, yaitu ayah dan ibu,
3 & 4 Kedua
orang tua, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan ,
5 & 6 Dua
orang suami-isteri.
Hajbu Hirman itu masuk ke dalam ahli waris
selain dari keenam ahli waris
tersebut di atas.
Hajbu Hirman ditegakkan atas dia asa:
1 Bahwa setiap
orang mempunyai hubungan dengan si mayit karena adanya orang lain
itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut
itu ada. Misalnya anak laki-laki
dari anak laki-laki itu tidak mewarisi
bersama dengan adanya anak laki-laki,
kecuali anak-anak laki-laki dari ibu, maka
mereka itu mewarisi bersama mereka
ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan
si mayit karena dia.
2 Orang yang
lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak
laki-laki menghalangi anak laki-laki dari
saudara laki-laki. Apabila mereka
sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi)
dengan kekuatan hubungan keke-
rabatannya, sperti saudara laki-laki
sekandung menghalangi saudara laki-laki
seayah.
13.3. PERBEDAAN
ANTARA MAHRUM DAN MAHJUUB
Perbedaan antara mahrum dan mahjub itu
kelihatan jelas dalam dua hal berikut
1 Mahrum sama
sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh
(orang yang mewariskan). Sedang mahjub itu
berhak mendapatkan warisan, akan
tetapi dia terhalang karena adanya orang lain
yang lebih utama darinya untuk
mendapatkan warisan.
2 Orang yang
mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia
tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia
dianggap seperti tidak ada saja.
Misalnya bila seseorang mati dan meninggalkan
seorang anak laki-laki kafir
" dan seorang saudara laki-laki muslim; maka
warisan itu semua adalah bagi"
saudara laki-laki, sedang anak laki-laki
tidak mendapatkan apa-apa.
Adapun orang yang mahjub (terhalang), maka
terkadang dia mempengaruhi orang
lain, dia menghijabnya baik dengan Hajbu
hirman ataupun hajbu Nuqshon.
Misalnya, dua tahu lebih saudara-saudara laki-laki
bersama dengan adanya ayah
" dan ibu. Keduanya (saudara laki-laki) tidak
mewarisi karena adanya ayah; dan"
keduanya (ayah dan saudara laki-laki)
menghijab ibu dari menerima sepertiga
menjadi seperenam.
14. 'AUL
14.1. DEFINISI
'Aul menurut bahasa berarti irtifa':
mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan
bila timbangan
itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung
kepada perbuatan
aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (ta'uuluu)
(S. An-Nisaa'
ayat 3).
Menurut para fuqoha, 'aul ialah
bertambahnya saham dzawul furudh dan
berkurangnya
kadar penerimaan warisan mereka.
Diriwayatkan bahwa faridhah (pembagian)
harta pertama yang mengalami 'aul
di dalam Islam
itu diajukan kepada 'Umar ra. Maka dia memutuskan dengan 'aul
pada suami dan
dua orang saudara perempuan. Dia berkata kepada para sahabat yang
ada di sisinya:
"Jika aku
mulai memberikan kepada suami atau dua orang saudara perempuan, maka
tidak ada hak
yang sempurna bagi yang lain. Maka berilah aku pertimbangan. Maka
'Abbas bin 'Abdul
Mutholib pun memberikan ertimbangan kepadanya dengan 'aul.
Dikatakan pula
bahwa yang memberikan pertimbangan itu ialah 'Ali. Sementara yang
mengatakan bahwa
yang memberikan pertimbangan ialah Zaid bin Tsabit.
14.2.
CONTOH-CONTOH MASALAH 'AUL
1 Telah mati
seorang perempuan dengan meninggalkan seorang suami, dua orang
saudara perempuan
sekandung, dua orang saudara perempuan seibu dan ibu. Masalah
demikian
dianamakan masalah Syuraihiyyah, sebab si suami itu mencaci-maki
Syuraih, hakim
yang terkenal itu, dimana si suami diberi bagian tiga persepuluh
oleh Syuraih.
Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil mengatakan: Syuraih"
"tidak
memberikan kepadaku separuh dan tidak pula sepertiga."" Ketika
Syuraih"
mengetahui hal
itu, dia memanggilnya untuk menghadap, dan memberikan hukuman
"ta'zir
kepadanya. Kata Syuraih: ""Engkau buruk bicara, dan menyembunyikan
'aul."""
2 Seorang suami
talah mati, sedang dia meninggalkan seorang isteri, dua orang
anak perempuan,
seorang ayah, dan seorang Ibu. Masalah ini dinamakan masalah
mimbariyyah,
sebab Sayyidina 'Ali ra tengah berada di atas mimbar di Kufah, dan
"dia
mengatakan di dalam khutbahnya: ""Segala puji bagi Allah yang telah
memutus-"
kan dengan
kebenaran secara pasti, dan membalas setiap orang dengan apa yang dia
"usahakan,
dan kepada-Nya tempat berpulang dan kembali,"" lalu beliau
ditanya"
"tentang
masalah itu, maka beliau menjawab di tengah-tengah khutbahnya:
""Dan"
"isteri itu,
seperdelapan menjadi sepersembilan,"" kemudian beliau
melanjutkan"
khutbahnya.
Masalah-masalah yang dimasuki oleh Allah
itu ialah masalah-masalah yang
pokok (ashal)-nya
: 6 - 12 - 24.
Enam terkadang
ddibesarkan menjadi tujuh, atau delapan, atau sembilan, atau
sepuluh. Dan
duabelas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau tujuh
belas. Dan dua
puluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua puluh tujuh.
Masalah-masalah yang tidak dimasuki Allah
sama sekali ialah masalah-masalah
yang pokok
(ashal)-nya: 2, 3, 4, 8.
Undang-undang Warisan Mesir menetapkan
Allah pada fasal lima belas, dan
"nashnya
sebagai berikut: ""Apabila bagian-bagian ashhaabul furuudh melebihi
harta "
peninggalan, maka
harta peninggalan itu dibagi di antara mereka menurut
"perbandingan
bagian-bagian mereka di dalam pewarisan."""
14.3. CARA
PEMECAHAN MASALAH-MASALAH 'AUL
Cara pemecahan masalah-masalah Allah ialah
harus mengetahui pokok masalah,
yakni yang
menimbulkan masalah itu, dan mengetahui saham-saham setiap ashhaabul
furuudh serta
mengabaikan pokonya. Kemudian bagian-bagian mereka dikumpulkan,
dan kumpulan itu
dijadikan sebagai pokok. Lalu peninggalan dibagi atas dasar
itu. Dan dengan
demikian, maka akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuai
dengan sahamnya.
Di dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.
Misalnya, bagi
suami dan dua orang saudara perempuan sekandung, maka pokok
masalahnya adalah
enam, untuk suami separuh, yaitu tiga, dan untuk dua orang
saudara perempuan
sekandung duapertiga, yaitu empat. Maka jumlahnya menjadi
tujuh. Dan tujuh
itulah yang menjadi dasar pembagian harta peninggalan.
15. RODD
15.1. DEFINISI
Kata radd berarti i'aadah: mengembalikan.
Dikatakan rodda 'alaihi haqqoh
artinya a'aadahu
ilaih: dia mengembalikan haknya kepadanya. Dan kata radd juga
berarti sharf:
memulangkan kembali. Dikatakan rodda 'anhu kaida 'aduwwih: dia
memulangkan
kembali tipu muslihat musuhnya.
Yang dimaksud radd menurut para fuqoha
ialah pengembalian apa yang tersisa
dari bagian
dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya
bagian mereka
bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.
15.2. RUKUNNY
Radd tidak akan terjadi kecuali bila ada
tiga rukun:
1 Adanya
ashhaabul furuudh,
2 Adanya sisa
peninggalan,
3 Tidak adanya
ahli waris 'ashobah.
15.3. PENDAPAT
PARA ULAMA TENTANG RADD
" Tidak ada nash yang menjadi rujukan masalah
radd; oleh sebab itu para ulama "
berselisih
pendapat tentang radd ini.
Di antara mereka ada yang berpendapat
tentang tidak adanya radd terhadap
"seorang pun
di antara ashhaabul furuudh; dan sisa harta sesudah ashhaabul "
furuudh mengambil
furudh (bagian-bagian) mereka itu diserahkan kepada baitulmal
bila tidak ada
ahli waris 'ashobah.
Ada pula yang berpendapat tentang adanya
radd bagi ashhaabul furuudh, bahkan
sampai pada
suami-isteri menurut kadar bagian masing-masing.
Sedang pendapat lain adalah radd itu
diberikan kepada semua ashhaabul
furuudh, kecuali
suami-isteri, ayah dan kakek.
Maka radd
diberikan kepada delapan golongan sebagai berikut:
1 Anak perempuan
2 Anak perempuan
dari anak laki-laki
3 Saudara
perempuan sekandung
4 Saudara
perempuan seayah
5 Ibu
6 Nenek
7 Saudara
laki-laki seibu
8 Saudara
perempuan seibu.
Pendapat inilah pendapat yang terpilih. Ini
adalah pendapat 'Umar, 'Ali,
jumhur sahabat
dan tabi'in. Dan inilah mazhab Abu Hanifah, Ahmad, dan pendapat
yang dipegang
bagi aliran Syafi'i, serta sebagian pengikut Malik, ketika baitul-
mal rusak.
Mereka berkata: Radd itu tidak diberikan
kepada suami-isteri karena radd
dimiliki dengan
jalan rahim, sedang suami-isteri tidak mempunyai hubungan rahim
kecuali hanya
sebab perkawinan. Radd juga tidak diberikan kepada ayah dan kakek
karena radd itu
ada bila tidak ada ahli waris 'ashobah, sedang ayah dan kakek
termasuk ahli
waris 'ashobah yang mengambil sisa dengan jalan ta'shib dan bukan
dengan cara radd.
Undang-undang Waris Mesir mengambil
pendapat ini, kecuali dalam satu
masalah, maka ia
mengambil pendapat 'Utsman. Undang-undang itu menetapkan adanya
radd bagi salah
seorang suami-isteri, maka suami/isteri yang hidup mengambil
bagian dengan
cara fardh dan radd. Radd terhadap seorang dari suami-isteri di
dalam
undang-undang itu sesudah dzawul arham. Dalam fasal 30 terdapat ketentuan
"sebagai
berikut: ""Apabila furudh tidak dapat menghabiskan harta
peninggalan"
dan tidak
terdapat 'ashobah nasab, maka sisanya dikembalikan kepada selain
suami-isteri dari
golongan ashhaabul furuudh, menurut perbandingan furudh
mereka. Dan sisa
dari harta peninggalan sikembalikan kepada salah seorang suami-
isteri, bila
tidak didapatkan 'ashobah nasab atau salah seorang ashhaabul
"furuudh
nasabiyah atau seorang dzawul arhaam."""
15.4. CARA
MEMECAHKAN MASALAH-MASALAH RADD
Caranya ialah bila bersama ashhaabul
furuudh didapatkan orang yang tidak
mendapatkan radd
berupa salah seorang suami-isteri, maka salah seorang suami-
isteri mengambil
fardhnya dari pokok harta peninggalan. Dan sisa sesudah fardh
ini adalah untuk
ashhaabul furuudh sesuai dengan jumlah mereka bila mereka
terdiri dari satu
golongan, baik yang ada itu hanya salah seorang diantara
mereka seperti
anak perempuan. Apabila ashhaabul furuudh itu lebih banyak dari
satu golongan,
seperti seorang ibu dan seorang anak perempuan, maka sisanya
dibagikan kepada
mereka sesuai dengan fardh mereka dan dikembalikan kepada
mereka sesuai
dengan perbandingan fardh mereka pula.
Adapun bila bersama ashhaabul furuudh tidak
didapatkan salah seorang suami-
isteri, maka sisa
harta peninggalan sesudah fardh mereka dikembalikan kepada
mereka sesuai
dengan jumlah mereka, bila mereka itu terdiri dari satu golongan,
baik yang ada di
antara golongan itu hanya seorang ataupun banyak.
Apabila ashhaabul
furuudh itu lebih dari satu golongan, maka sisanya dikembali-
kan kepada mereka
sesuai dengan perbandingan fardh mereka. Dengan demikian maka
bagian dari
setiap ashhaabul furuudh itu bertambah sesuai dengan melimpahnya
"harta;
sehingga dia mendapatkan sejumlah warisan yang berupa fardh dan radd."
16. KANDUNGAN
(HAMLU)
Kandungan (hamlu) adalah anak yang
dikandung di perut ibu. Kami akan mem-
bicarakan
kandungan di sini dari segi pewarisan dan lamanya kandungan.
16.1. HUKUMNYA
DALAM PEWARISAN
Kandungan itu adakalanya lahir dari perut
ibu dan adakalanya tetap di dalam
perutnya.
Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai hukum-hukumnya sendiri,
dan akan kami
sebutkan berikut ini :
16.2. KANDUNGAN
YANG LAHIR DARI PERUT IBU
Apabila kandungan lahir dari perut ibu,
maka adakalanya ia lahir dalam
keadaan hidup dan
adakalanya dalam keadaan mati. Apabila ia lahir dalam keadaan
mati, maka
kemungkinan lahirnya bukan karena tindak pidana dan permusuhan ter-
hadap sang ibu,
dan kemungkinan disebabkan tindak pidana terhadap sang ibu.
Apabila dia lahir
dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dan diwarisi oleh
"orang lain;
karena adanya riwayat dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda:"
Apabila anak yang
dilahirkan itu menangis, maka dia diberi warisan.
" Istihlaal artinya jeritan tangisan bayi;
maksudnya ialah bila nyata "
kehidupan anaka
yang lahir itu, maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah
suara, nafas,
bersin, atau yang serupa dengan itu. Ini adalah pendapat
Ats-Tsauri,
Al-Auza'i, Asy-Syafi'i dan sahabat-sahabat Abu Hanifah.
Apabila kandungan lahir dalam keadaan mati
bukan karena tindak pidana yang
dilakukan
terhadap ibunya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi dan tidak
pula diwarisi.
Apabila dia lahir dalam keadaan mati
disebabkan tindak pidana yang dilaku-
kan terhadap
ibunya, maka dalam keadaan demikian, dia mewarisi dan diwarisi
menurut
orang-orang Hanafi.
Sedang mazhab Syafi'i, Hambali, dan Malik
berpendapat bahwa dia tidak
mewarisi
sedikitpun, akan tetapi dia mendapatkan ganti rugi saja karena darurat.
Dia tidak
mendapatkan selain itu. Ganti rugi ini diwarisi oleh setiap orang yang
berhak mendapat
warisan darinya.
Al-Laits bin Sa'd dan Robi'ah bin
'Abdurrahman berpendapat bahwa janin itu
bila lahir dalam
keadaan mati disebabkan tindak pidana terhadap ibunya, maka dia
"tidak
mewarisi dan tidak pula diwarisi; akn tetapi iibunya mendapat ganti rugi."
Ganti rugi itu
diberikan kepada ibunya, karena tindak pidana itu menimpa
sebagian dari
dirinya, yaitu si janin. Dan bila tindak pidana itu hanya menimpa
diri si ibu saja,
maka ganti ruginya pun hanya untuk dirinya. Undang-undang
Warisan Mesir
mengambil pendapat ini.
16.3. KANDUNGAN
YANG BERADA DALAM PERUT IBU
1 Kandungan yang masih berada dalam perut
ibu tidak bisa menahan sebagian
harta
peninggalan, bila dia bukan pewaris atau terhalang oleh orang lain dalam
segala keadaan.
Apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang isteri, seorang
ayah dan seorang
ibu yang hamil yang bukan dari ayahnya, maka kandungan yang
"demikian
tidak mendapatkan warisan; sebab dia tidak akan keluar dari keadaannya"
sebagai saudara
laki-laki atau saudara perempuan seibu, sedang saudara laki-laki
atau saudara
perempuan seibu tidak mewarisi dengan adanya ayah.
2 Semua harta peninggalan ditahan sampai
kandungan dilahirkan, bila dia
pewaris dan tidak
ada seorang pewarispun yang ada bersamanya, atau ada seorang
pewaris tetapi
terhalang olehnya. Demikian kesepakatan para fuqoha.
Demikian pula
semua harta peninggalan ditahan bila bersamanya terdapat ahli
waris yang tidak
terhalang, akan tetapi mereka semua merelakan baik secara
terang-terangan
maupun tersembunyi, untuk tidak membagi warisan secara segera,
misalnya mereka
diam saja atau tidak menuntutnya.
3 Setiap ahli warisyang mempunyai fardh
(bagian) tidak berubah dengan
berubahnya
kandungan, maka dia mendapatkan bagiannya secara sempurna, dan sisa-
nya ditahan.
Misalnya, bila si
mayit meninggalkan seorang nenenk dan seorang isteri yang
hamil, maka nenek
mendapatkan bagian seperenam karena bagiannya tidak berubah,
baik anak yang
akan dilahirkan itu laki-laki ataupun perempuan.
4 Pewaris yang gugur dengan salah satu dari
dua keadaan kandungan dan tidak
gugur dengan
keadaan lain, tidak diberi bagian sedikitpun karena hak kewarisan-
nya itu
meragukan.
Misalnya, bila
mayit meninggalkan seorang isteri yang hamil dan seorang saudara
laki-laki, maka
saudara laki-laki itu tidak mendapatkan sesuatu, sebab mungkin
kandungan yang
akan lahir itu laki-laki. Demikian mazhab jumhur.
5 Ashabul furudh yang berubah bagiannya
karena kandungan yang akan dilahir-
kan itu laki-laki
atau perempuan, diberi bagian yang minimal dari dua
kemungkinan
tersebut, dan yang di dalam kandungan diberi bagian yang maksimal
dari kedua
kemungkinan di atas kemudian ditahan sampai ia lahir. Bila kandungan
yang dilahirkan
itu hidup, dan ternyata ia berhak memperoleh bagian yang lebih
besar, maka
tinggal mengambilnya. Dan bila dia tidak merhak memperoleh bagian
yang lebih besar
dan hany berhak memperoleh bagian yang minimal, maka dia meng-
"ambilnya;
dan sisanya dikembalikan kepada ahli waris. Apabila dia lahir dalam"
"keadaan
mati, maka dia tidak berhak sedikitpun; dan semua harta peninggalan"
dibagikan kepada
ahli waris tanpa memeperhatikan kandungan itu.
16.4. BATAS WAKTU
MAKSIMAL DAN MINIMAL BAGI KANDUNGAN
Batas waktu minimal terbentuknya janin dan
dilahirkan dalam keadaan hidup
adalah enam
bulan, karena firman Allah SWT:
Dan mengadungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan (S. Al-Ahqoof 15)
Dan menyapihnya
dalam dua tahun (S. Luqmaan 14).
Apabila menyapihnya dua tahun, maka tidak
ada sia lagi selain enam bulan
untuk mengandung.
Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur fuqoha.
" Berkata Al-Kamal ibnul Hamam, salah seorang
imam golongan Hanafi, ""Sesung-"
guhnya kebiasaan
yang berlaku ialah bahwa keadaan kandungan itu lebih banyak
dari enam bulan,
bahkan mungkin sampai bertahun-tahun pun tidak didengar adanya
"kelahiran
kandungan dalam umur enam bulan."""
Pendapat sebagian orang-orang Hambali ialah
batas waktu minimal dari
kandungan adalah
sembilan bulan.
Undang-undang Warisan Mesir bertentangan
dengan pendapat jumhur ulama dan
mengambil
pendapat dari sebagian orang-orang Hambali dan pendapat para dokter
resmi, yaitu
bahwa batas minimal dari kandungan adalah sembilan bulan Qomariyah
yakni 270 hari,
karena yang demikian itu sesuai dengan apa yang banyak sekali
terjadi.
Sebagaimana mereka berselisih pendapat
tentang batas minimal waktu
mengandung, maka
merekapun berselisih pula tentang batas maksimalnya. Di antara
mereka ada yang
berpendapat dua tahun. Ada pula yang berpendapat sembilan bulan.
Sedang yang
lainnya mengatakan satu tahun Qomariyah (354
hari). Dan undang-
undang yang
disarankan oleh para dokter resmi.
Maka
disebutkanlah bahwa batas waktu maksimal dari kandungan adalah satu tahun
"Syamsiyyah
(365 hari); dan yang demikian ini dipegangi dalam menatapkan nasab, "
pewarisan, wakaf
dan wasiat.
Adapun undang-undang warisan, maka ia
mengambil pendapat Abu Yusuf yang
memberikan fatwa
pada mazhab bahwa kandungan itu diberi bagian maksimal dari
dua kemungkinan
dan mengambil pendapat tiga orang imam dalam mempersyaratkan
dilahirkannya
kandungan secara keseluruhan dalam keadaan hidup untuk dapat
memperoleh hak
warisannya.
Undang-undang juga mengambil pendapat
Muhammad ibnul Hikam yang menyatakan
bahwa kandungan itu tidak mewarisi kecuali bila
dia dilahirkan dalam batas waktu satutahun sejak tanggal kematian atau
perceraian antara ayahnya dan
ibunya.
Termuat dalam fasal-fasal 42, 43, dan 44
sebagai berikut :
Fasal 42: Ditahan
demi kandungan harta peninggalan si mayit yaitu dua bagian
maksimal menurut
perkiraan bahwa yang dilahirkan itu laki-laki atau perempuan.
Fasal 43: Bila
seorang laki-laki mati dengan meninggalkan isterinya yang sedang
'iddah, maka
kandungannya tidak dapat mewarisi kecuali bila dia dilahirkan
dalam keadaan
hidup, dan masa kelahiran maksimal 365
haridari tanggal kematian
atau perceraian.
Kandungan tidak mewarisi selain ayahnya, kecuali dalam dua
keadaan berikut :
1 Bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 365
hari
dari tanggal kematian atau perceraian, bila
ibunya ber'iddah karena kematian
atau perceraian, dan orang yang mewariskan
mati di tengah 'iddah.
2 Bila dia
dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 270 hari
dari tanggal kematian orang yang mewariskan,
jika dia lahir dari perkawinan
yang masih utuh di saat kematian.
Fasal 44: Apabila
yang ditahan untuk kandungan itu kurang dari hak yang semes-
tinya diterima,
maka ahli warisyang mendapatkan bagian wajib mengembalikan
sisanya untuk
sang janin. Dan bola yang ditahan untuk kandungan itu lebih dari
hak yang
semestinya diterima, maka kelebihan itu dikembalikan kepada ahli waris
yang berhak
menerimanya.