Eksistensi Hukum Islam
ecara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai
yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hal
ini berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya mampu menangkap aspirasi
masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun
juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan
politik di masa depan
Dengan demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma
statis yang hanya mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun juga
berkemampuan untuk mendinamisasikan pemikiran serta merekayasa perilaku
masyarakat dalam menggapai cita-cita.
Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa
berkemampuan untuk mendasari dan mengarahkan berbagai perubahan sosial
masyarakat.
Hal
ini mengingat, bahwa hukum Islam[2] itu mengandung dua dimensi:
1. Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari’at[3] yang berakar pada nash qath’i berlaku
universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat
Islam sedunia.
2. Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang
merupakan wilayah ijtihadi yang produk-produknya kemudian disebut
dengan fiqhi.[4]
Dalam
pengertiannya yang kedua inilah, yang kemudian memberikan kemungkinan
epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam dapat
menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda,[5] sesuai dengan konteks permasalahan
yang dihadapi.
Di
Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, keberdayaannya telah sejak lama memperoleh tempat yang layak dalam
kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan
bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi Negara.[6]
Setelah
kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih
seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit demi sedikit hukum
Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya
sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama
sebagai pelaksananya.[7]
Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis,
sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam
tidak pernah mati dan bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam dalam
sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta
sampai masa kini.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu[8] kemudian dibagi menjadi dua:
1.
Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek
ibadah murni, yang pelaksanaannya
sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan
umat Islam Indonesia kepada agamanya.
- Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana[9] sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan), yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.
Meskipun keduanya (hukum normative dan yuridis formal)
masih mendapatkan perbedaan dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu
sebenarnya dapat terlaksana secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45
pasal 29 ayat 2.
Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah
hukum-hukum Islam yang hidup[10] dalam masyarakat Indonesia, baik yang
bersifat normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa
ulama dan yurisprudensi.
Adapun
eksistensi hukum Islam di Indonesia yang sebagian daripadanya telah terpaparkan
pada uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan
historis, ataupun teoritis.[11]
Dalam
lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[12] dua periode sebelum kemerdekaan, dan
dua lagi pasca kemerdekaan.
1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam
dua fase sebagai berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam
sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenalteori reception
in complexuyang
dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini,
hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat
Islam[13] berlaku sejak adanya kerajaan
Islam sampai masa awal
VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri
semua persoalan hukum
yang berlaku di masyarakat.
Setelah Belanda dengan
VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka pada
tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium
Freijer.
Peraturan ini memang
tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan
dan kewarisan), tetapi juga menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan
Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan Islam dengan peradilan buatan
Belanda.[14]
Keberadaan hukum Islam[15] di Indonesia sepenuhnya baru diakui
oleh Belanda setelah dicabutnyaCompendium Freijer secara
berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsbled 1882
No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa
mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan
ketentuan fiqhi.[16]
3.
Fase
berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat.
Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang
pertama kali diperkenalkan oleh L.W.C.
Van Den Breg itu[17]kemudian
digantikan oleh teori Receptio yang dikemukakan oleh Cristian Snouk
Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[18] sebagai penggagas pertama.
Untuk
menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio,
pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische
Staatsregeling (I.S), yang sekaligus
membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang
menganjurkan kepada hakim Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang
menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.
Dan dalam pasal 134 ayat 2 dinyatakan:
“Dalam
hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan oleh
hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu
tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi”.[19]
Berdasarkan
ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya
oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang
berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam masalah waris (yang sejak
1882 telah menjadi kompetensinya) dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.[20]
Dengan
pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yang
meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan system dan
kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah
mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat
ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam, sehingga
dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami
kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak
kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya
terhadap ajaran Islam.
2. Dua periode kedua, yakni setelah
kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua fase sebagai berikut:
a. Hukum Islam sebagai sumber
persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut denganpersuasisive source,
yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya setelah diyakini.
b. Hukum Islam sebagai sumber otoritatif,
yang dalam hukum konstitusi dikenal denganoutheriotative source, yakni sebagai sumber hukum yang
langsung memiliki kekuatan hukum.
Piagam
Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan sebagai
sumber persuasuf UUD-45.[21] Namun setelah Dekrit yang mengakui
bahwa Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan
RI yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat
penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk
mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan
berupaya untuk menggali hukum secara mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif
sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum
yang telah lama melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah.
Ia memerlukan upaya persuasif dan harus dilakukan secara terus menerus,
simultan dan sistematis.
Upaya
pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam adalah
pemberlakuan teoriReceptio Exit gagasan
Hazairin[22] yang berarti menolak teori Receptio yang
diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya,
teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh
Belanda untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan
teori iblis karena mengajak umat Islam untuk tidak
mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[23]
Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah lahirnya
teori Receptio a Canirario yang memberlakukan hukum kebalikan
dari Receptio, yakni bahwa hukum adat
itu baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan
teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi memiliki ruang gerak yang lebih
leluasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perkembangan
hukum Islam di Indonesia telah melampaui tiga tahapan:
1. Masa penerimaan,
2. Masa suram akibat politik kolonial
Belanda,
3. Masa pencerahan dengan menjadikan hukum
Islam sebagai salah satu alternative
utama yang dipercaya oleh pemerintah RI
dalam upaya menciptakan hukum nasional.
[1] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h.
ix
[2] Hukum Islam merupakan koleksi daya
upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988,
cet III), h. 44
[3] Syariat mempunyai dua pengertian: umum
dan khusus. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan dan Islam termasuk
pengetahuan tentang ketuhanan. Dalam pengertian khusus, ketetapan yang dihasilkan
dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur’an
dan sunnah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S.
Praja, Hukum Islam di Indonesia…,
h. vii
[4] Fiqhi adalah hukum syara’ yang
bersifat praktis diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi,
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[5] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[6] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia…
[7] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Ummat, dalam
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h.
93
[8] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia,
Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, tanggal 17 Mei
1995.
[9] Hukum Pidana adalah hukum yang
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, yang menyebabkan pelakunya dapat diancam dengan hukuman
tertentu dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h.
73-74
[10] Yakni, hukum yang diterima dan
digunakan secara nyata dalam kehidupan umat, atau yang tersosialisasikan dan
diterima masyarakat secara persuasive, karena dianggap telah sesuai dengan
kesadaran hukum dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209;
Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[11] Tentang teori-teori tersebut,
selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam di Indonesia, dalam
Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia(Bandung:
Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[12] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
dalam bukuProspek
Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia,
h. 200
[13] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[14] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[15] Ketika itu, hukum Islam diakui sebagai
otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama dengan hukum
adat yang tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan.
Dan yang ada hanyalah kitab-kitab fiqhi yang masih berbentuk kajian ilmu hukum
Islam dalam berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi’i.
Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[16] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka
Menentukan Peradilan Agama di Indonesia, dalam
Tjua Suryaman, Politik Hukum di Indonesia,
Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya,
1991), h. 43-44
[17] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta:
Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[18] Mura Hutagalung, Hukum Islam dalam Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I),
h. 19
[19] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[20] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[21] Bandingkan paragraph pada UUD-45 yang
kemudian menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI dengan rumusan
dalam Piagam Jakarta: “…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam
bagi para pemeluknya”.
[22] Pada tahun 50-an menjadi penggagas
pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas,
1976), h. 3-6
[23] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…,
h. 220
No comments:
Post a Comment